Jumat, 25 Desember 2009

Cicakung di suatu sore

Lama aku berkhayal tentang sahaja alam desa
dimana batu-batu bisu menunggu, dimana katak-katak saling mendengkur atau angsa-angsa berbagi birahi.

Di sepanjang pematang ini aku berpuisi
menorehkan pena tentang kekejaman takdir
sambil berharap kepada semesta yang malas mengobati luka
di atas kaki langitku yang sedang berdarah ditikam rasa.

Mentari senja Cicakung sedang telanjang
aku menghela nafas, kubiarkan diriku terlentang
mengais harapan pada apa yang telah hilang agar kembali
pulang mengetuk pintu beranda masalalu!

Di atas selembar lembah ini aku menjelma seekor burung
dalam kepakan sayap yang lemah-lambat
aku terperangkap dalam jala-jala masa depan yang kelabu
di saat bumi dan hujan mulai mangkir dari para pembajak alam
aku beranang di antara genangan lanskap tak berpengharapan!

Lembah Cicakung, 21 Desember 2009

Sabtu, 12 Desember 2009

Membaca dalam kepungan kesunyian

Kala kesunyian sedang membunuhku
Larilah pada buku!
Ya, kucoba berlari kesana:
Mengunyah aksara dan makna
Juga kaidah yang membanyol

Kupunya pikiran terbang, kupunya jiwa melayang:
Secuplik kata-kata bung Karno terngiang-ngiang...

''Saya mencari consolation, hiburan hidup dari buku-buku. Saya membaca buku-buku. Saya meninggalkan alam ini, alam jasmaniah. Saya punya pikiran, saya punya mind terbang, meninggalkan alam kemiskinan ini, masuk di dalam ''world of the mind''; berjumpa dengan orang-orang besar, dan bicara dengan orang-orang besar, bertukar pikiran dengan orang-orang besar."

Sabtu, 05 Desember 2009

Selepas bapakku pergi

Bap...
Subuh yang dingin basah itu engkau pergi jauh
Bahkan engkau pun tak sempat pamit
Engkau memilih pergi ke tempat yang tak bisa terjamah
Jauh sekali! Jauh sekali....

Bap...
Kini aku sendiri dan sering termangu
Mengingat keseluruhan adamu dan tentangmu:
Tentang rindu-dendam yang mengambang
Tentang marah-sesal yang muram
Tentang masa-lalu yang menantang
Tentang hari esok yang rembang
Engkaulah yang dulu membuat aku ingin selalu cepat pulang

Bap...
Dadaku selalu penuh sesak jika membereskan lemari buku
Sebab dalam lipatan buku-bukumu itu
Ada tertulis titimangsa kapan dan dimana buku itu kau beli
Buku-buku yang pernah kau beli dengan berdarah-darah!

Bap...
Kini kurasakan apa yang engkau dulu pernah rasakan
Ketika menantang hidup:
Pahit. Getir. Terlalu pahit hidup ini bap...
Rindu. Sayang. Terlalu rindu aku padamu bap...
Selepas kau pergi, aku banyak menanggung beban hidup

Datanglah dimimpiku malam ini, bap...


:buat Bapak (1947-2009)

Yang tertanam dalam sekam

Hey...
Engkau ambil apa saja yang ada di dekatku
Tumpukan buku-buku itu; majalah-majalah itu
Silahkan, ambilah!
Bahkan jika kau sudi melahap tubuhku, lahaplah...
Kecuali darah dan roh yg bersemayam kutuk ini
Yang merana dikunyah raga bernyawa

Tak ada yang bisa kubanggakan kecuali secuil jiwaku
Luasnya yang tak seberapa, jangan pula kau tanya
Sedalam apa jiwaku ini
Jiwaku terlalu kecil dan sepi, kawan...

Ohh, jiwaku yang nelangsa!
Engkau tak seluas biru langit atau sedalam biru lautan
Cuma Engkau jiwaku, satu-satunya yang kupunya
Sebab diluar jiwaku hanyalah fana...

Jiwaku adalah api maya
Dan ragaku hanyalah sekam

Kamis, 03 Desember 2009

Tunggulah, sebentar saja...

Mari lupakan sejenak tentang rasa yang sedang kita rasa
Juga tentang setumpuk rencana yang kadaluwarsa
Aku dan kamu tak sekedar sadar dimana sebenarnya kita berada
Tapi kita juga mahfum tentang betapa sesaknya dada kita
Menghitungi jejak langkah yang tak bertepi ini

Mari kita rengkuh mimpi tanpa harus mengucap kata 'Terserah'
Apalagi mengeluh keluh, pasrah dan menyerah
Biarlah bumi terus mengitari api meski kita tetap belum mengerti
Tentang arti sakit, marah dan airmata

Kemarilah, sayang...
Mari kita berdua nyalakan lentera mungil itu
Aku akan tetap disisimu meski kutahu hatimu masih merajam perih
Dan kita jangan menambah kecewa dan nestapa
Hanya karena mimpi yang kita tunggu itu tak pernah ada....

Rabu, 02 Desember 2009

Pada sebuah ranjang, tubuhku melayang!

Gerimis bulan Desember membingkai langit yang tampak berantakan
Tetesannya lembut namun menyimpan satir sekaligus rasa yang kusut masai
Kita berdua saling melahap langit sehingga hangatnya menyerpih gurih
Menyerupai butiran-butiran keringat yang asin

Suara-suara nafas yang tersengal memecah keheningan
Menghantarkan kita pada pintu surga buatan atau neraka rakitan
Tapi kita berdua tak perduli!
Biarkan semua terjadi sejadi-jadinya!
Lagipula kita terlampau rakus menikmati Dipan Senja itu bukan?

Kita bergumul dalam temaram saat tubuh meronta lirih
Sambil berharap malam tak terlalu pekat, kita tuntaskan sampai habis


Lembang, 1 Desember 2009

Senin, 30 November 2009

Malam yang janggal

Mata yang terbenam nanar
Dalam bingkai kisah yang muram
Liar, menyalak dalam kepak kesunyian yang mencekam
Hitam, menyeruak dalam lipatan ketaksengajaan
Tentang sebuah mimpi yang membawaku pada pelabuhan tak betepi
Kubiarkan pelupuk mataku mengurai sungai yang deras

Dalam liang hampa kesunyian, dalam kepompong diri yang dekaden
Ada raga yang terkoyak, batin yang mengerang!
Jerit lolongan seumpama meminta tolong...
Lukaku menyeruak dalam lipatan takdir seperti yang sudah-sudah
Aku minta didekap!

Dimana kuminta kesempatan
Kudapati diri ini semakin meleleh terbakar
Tak ada yang bisa kutunggu
Selain seputaran waktu yang tak bosan menderak

Jumat, 06 November 2009

Tirani Sang Waktu

Apa yang sebenarnya kita tunggu?
Hanya mengikuti kemana setiap senja mulai berangkat!
Kenapa harus terburu-buru?
Bukankah setiap subuh adalah sebuah misteri?
Oh, sang waktu: tak bukan adalah rantai belenggu
Yang menjadikan setiap nafas menjadi serupa ketakberdayaan!
Terjebak dalam lingkar tubuh yang terbakar...

Ini sudah cukup...

Di atas bangkai-bangkai dogmatisme yang disebut takdir:
aku membungkus diri sendiri dalam secarik kain kafan kalam puitis...
Di antara gelinding kepastian utopia yang tak pernah sampai:
aku menolak menjadi bidak para thagut despotik yang menyuruhku mati...
Di antara perantara nasib yang dipermainkan kerumunan lalat-lalat pasar:
aku telanjangi serupa hegemoni tata dunia yang membanal...
Di ujung tapal batas dunia yang semakin durjana:
aku dilumat api senja dalam kilauan sekam berdebu...
Di tepi peradaban para manusia penyembah berhala saat senja mulai mangkir dari tanah asal:
aku terpelanting dihunus mimpi...

Aku coba mengeja aneka nalar dan prasangka
Di antara tumpukan sampah propaganda usang
Aku diam terdampar nyaris binasa
Aku berlutut - Terlentang - Kemudian hening
Dengan semulut penuh rintihan laksana menahan birahi:
Aku sudah lelah...
Ini sudah cukup....

Rabu, 28 Oktober 2009

Mengecup Sunyi

Aku masih disini, menikmati malam dari bilik jendela tak berkaca. Namun sepotong langit mampir sebagai sebuah kejutan yang segar. Tampak bergulung-gulung dan sedikit abu-abu. Tak ada cahaya seperti batu safir sebab disini terlalu gelap dan dinding kelam. Aku melihat bintang terjauh diantara bintang yang terang. Banyak yang terang, tapi hanya satu saja yang berkedip. Banyak yang terpanggil, tapi hanya satu yang terpilih...

Tentang sebuah tanya


Adakah yang lain dari hidup ini selain kata Sabar?
Haruskah terus menerus bertahan ketika jasad dirajam renta?
Kemanakah akhirnya dan dimanakah raga ini bermuara?
Ketika raga dililit tanah, kemanakah terbangnya sang nyawa?

Oh, kemarilah jiwa-jiwa yang bersih
Terkutuklah alam yang sengaja membungkusku dalam kesia-siaan!
Membiarkanku tergolek lemas dan tak berdaya melihat gegap gempita dunia
Sementara diriku dihempas gelombang samudera ketakterhinggaan!

Kemarilah duka, mari menari bersamaku dalam irama rintih
Kita dendangkan sebuah lagu tentang sunyi dan sepi
Bersama para malaikat yang kini enggan dan malas menjemputku mati
Wahai alam, tak bosankah engkau memberiku dahaga?

Kami yang masih setia dalam doa menanti oase di padang tandus
Dalam keganjilan-keganjilan kami yang penuh dosa dan lumpur nafsu
Timpakan lumpur panas itu, biar hancur luluh lantak sekalian!

Oh hidup, tak lain adalah tanah gersang yang menjadikanku seonggok daging
Dengan otak dan hati yang tak kalah kering
Hanya menanti pembusukan menjadi mayat-mayat yang beraroma sengak...


)* Kamar gelap, 26 Juli 2006

Pada akhirnya harus ada yang singgah dan pergi...


Siapa yang akan mengantarkan kita?
Hati kita jauh lebih unggul dari sekedar derita
Lebih unggul dari sekedar putus asa
Lebih unggul dari sekedar sepi

Ditanamnya pohon jeruk dipekarangan rumah kita
Dicoretkannya kapur penolak bala di ambang pintu rumah kita
Dibakarnya getah kemenyan di dalam tungku dapur rumah kita

Agar kita tak pernah melihat lagi adegan-adegan cinta
Agar tak sakit hati mengenangnya...
Biarkanlah semuanya kembali hilang!

Libido Sophia


Bait perlawananku malam ini
Aku telah kehilangan suara
Yang terputus oleh libido oportunis
Sehingga kuselipkan secarik puisi ini
Dari darah perawanmu...

Wahai gadis yang membawaku sekuntum mawar
Jadilah engkau mawar terindah diseberang jurang kegalauanku
Indahmu jelas terlihat tapi tak kuasa kupetik

Jadikanlah hangat birahimu...
Setiap dengusan nafasmu...
Awal dari nafsu untuk perubahan dan pembebasan!

Senin, 26 Oktober 2009

Altar Kunfayakun

Tuhan...
Aku kembali lagi meratap di altarMu
Ijinkan aku ya Tuhan...
Sedetik saja aku telungkup dan terlentang
Bersama dia kekasihku!
Saling menangkap cinta yang Kau jatuhkan
Agar bisa kurasakan lagi sumber kehidupanku
Untuk kembali meretas pada dasar langkahku

Tuhan...
Jangan Kau tulikan telingaMu atas doaku
Jangan pula Kau lumpuhkan kunfayakunMu atas pintaku
Bukankah aku lahir di dunia ini atas kunfayakunMu?
Menjelma menjadi seorang aku atas sapaMu?

Tuhan...
Segala rasa segala cipta segala punya
Aku tersungkur di altarMu
Demi menghilangkan segala batas
Yang membelenggu...
Amien!

Aku Cinta Kamu

Telah kau baca bukan?
Dari sepasang mata yang tak lagi layu
Betapa rinduku ingin menampar tipis bibirmu

Telah kau lihat bukan?
Dari degup jantung yang telah lapuk ini
Betapa aku ingin mencoba berlari
Menuju reruntuhan puing-puing hatimu

Telah kau rasakan juga bukan?
Setiap dengusan nafas dan tetesan darah
Dan setiap inci pori-poriku
Hanya untuk tiga kata saja: Aku Cinta Kamu...
Masih belum jelas terdengar?
Aku-Cinta-Kamu!
Aku-Cinta-Kamu!
Aku-Cinta-Kamu!


Cihampelas strasse, 26-Maret-2007

Jumat, 23 Oktober 2009

Kehujanan

Hari ini kita telah berjanji,
Untuk bertemu setelah kemarin memendam rindu
Tetapi hujan sudah turun sepagi ini
Apakah kita akan tetap memenuhi janji,
Atau memilih menarik kembali selimut pagi kita?

Elegi Rinai Hujan

Lihatlah, hujan turun lagi...
Kehadiran hujan bisa berarti sebuah pertanda buatku
Pada sebuah kesan lama yang menggenangi sisi ingatanku
Tubuhku menggigil, termangu di depan jendela
Menatap serupa telaga kecil di depan beranda
Aha, mari kita buat lagi perahu kertas!

Dalam tetesannya kulihat embun-embun kecil itu menari irama rintik
Dalam rinainya terlukis wajah segar kenangan masa kecil

Tentangku yang dulu begitu nakal
Tentang kita yang terlalu lugu
Bahkan dinginnya masih terasa bukan?
Entah kenapa, kehadiran hujan menghadirkan sebuah pertanda...
Rinai itu membuatku galau sekaligus rindu!

Rabu, 14 Oktober 2009

Raison D'etre Kanapa Aku Menulis Catatan Harian


"Selama ini kamu telah memberikan perasaan nyaman untukku. Betapa menyenangkan menulis diary seperti ini, hingga sekarang aku merasa tidak sabar menunggu saat-saat untuk dapat berbagi cerita bersamamu..."
- Anne Frank

"Aku tak akan pernah lagi melepaskan buku harianku. Aku harus pegang teguh, sebab hanya dengan inilah aku bisa menulis..."
- Franz Kafka

"Satu-satunya cara untuk membebaskan diriku dari kemurungan adalah dengan memenuhi semua lembaran kertas ini dengan tulisanku. Aku akan terus mencobanya lagi, melanjutkan kisahku dan menyelesaikannya..."
- Camilo Jose Cela

"Dari semua yang telah ditulis, aku hanya mencintai apa yang ditulis seseorang dengan darahnya. Menulislah dengan darah dan kau akan dapati bahwa darah itu roh..."
- Friedrich Nietzsche

"Awali setiap subuhmu dengan menulis atau mencatat karena dengan begitu akan membuatmu menjadi penulis..."
- Gerald Brenan


"Ketika aku menulis catatan harian, aku merasa terluka. Ketika kubaca catatan harianku, lukaku semakin terbakar..."
- Jean Paul Sartre

"Tahukah engkau mengapa aku sayangi engkau lebih dari siapapun? Karena engkau menulis! Suaramu takkan padam ditelan angin, akan mengabadi, sampai jauh, jauh dikemudian hari..."
-Pramoedya Ananta Toer

Kamis, 24 September 2009

Manifestasi Tirani

Penindasan hari ini...
Ketika bendera investasi berkibar atas nama demokrasi
Valas dan politisi telah berubah menjadi tirani
Negara rela menjual diri bertekuk lutut dibawah hegemoni
Anarki yang tereduksi menjadi simbol trendi masa kini
Tak ubahnya rentetan invasi Illahi ala Amrozi
Komoditi duniawi membidani arus kolonial fasisme institusi
Berlindung dibalik kebanggaan layaknya Mussolini berkoalisi dengan Nazi

Mortir yang mengguncang Yerusalem, Irak dan Dili
Telah mampir kedalam mimpi semua bandit yang penuh birahi
Menghancurkan nurani dan bertopeng Revolusi Industri
Bagai para pejuang Intifada yang berkorban demi insureksi
Amunisi berkobar manis lewat iklan yang menghiasi sinetron di tivi
Iblis globalisasi mencuri hati para pemimpi
Mengubur tradisi kedalam sampah terbakar bara api
Intelektual lulusan luar negeri hanya menjadi predator dinegeri sendiri
Perampok liberal yang bernyanyi diatas kebebasan otorisasi
Halalkan teror mengoyak keperawanan ibu pertiwi
Invasi ekonomi dengan misi menghantui para pribumi
Mc'D, Starbucks dan KFC yang berkompetisi dibalik kebodohan generasi
Tak terkalahkan oleh militansi Ariel Sharon yang diguncang demonstrasi
Tetap kokoh berdiri mendekonstruksi ambisi

Dan ketika Adidas menghiasi kaki para pemuja selebriti
Manifestasi pembodohan massal oleh keparat korporasi
Membuat konsumsi menjadi harga mati
Inilah paket doktrinisasi layaknya air mani
Tengik, amis dan bau terasi
Terangsang oleh gairah modernisasi yang muncrat kesana-sini!

Rabu, 16 September 2009

Ode Untuk Kawan


Dulu,
dalam setiap percakapan yang senantiasa dimainkan angin,
selalu kita senandungkan nyanyian perkawanan.
kata-kata tak ubahnya gubahan rima-rima saat kita bersenda,
saat kita bergurau, tentang makna 'Persahabatan'.
Kita larut dibuai percakapan dan gelak tawa.
Kita luruh dibantai sesuatu yang semu.

Perkawanan kita tak ubahnya istana yang dibangun dengan pasir,
tanpa pondasi yang kokoh.
Perkawanan kita hanyalah kedirian eksistensi yang melapuk,
sebatas kehadiran, canda dan ketidakmengertian.
Dan, datanglah ombak itu...
Istana pasir yang kita bangun itu luluh lantak seketika!

Kawan,
Ada yang tidak bisa kita mengerti.
Hati masing-masing yang tak mampu saling merenangi dalamnya rasa.
Hingga akan tetap tak bisa saling memahami.
Kini, percakapan-percakapan yang kita senandungkan bukan lagi sebuah nyanyian,
melainkan raungan-raungan kesunyian!
Sejenis luka karena ketidakmengertian telah memisahkan kita...

Senin, 17 Agustus 2009

Jika Aku Pergi


Jika suatu hari nanti aku meninggalkanmu
bukan berarti aku sudah tak sayang.
Kepergianku bukanlah kepergian abadi
melainkan ku ingin sejenak mengecup sunyi

Apabila suatu saat nanti aku tak mengecupmu,
membelaimu seperti kebiasaan kita di sore hari,
saat matahari tiarap disebelah barat
Bukan pula berarti aku sudah tak lagi cinta.

Aku menghilang tanpa harus kebuang segala cerita kita
dan aku pergi tanpa harus pamit pada kenangan
Tak akan pernah kuhilangkan semua jarak
Cuma sebentar saja aku ingin menghirup sepi

Demi menjagai luka yang terlalu menganga
juga kecewa karena harapan di atas pucuk cinta
Cinta yang terlalu merana ditikam mimpi-mimpi!
Kekasih...
Sejenak saja bersamamu, aku tak perlu mimpi!


Cikapundung, 14 Agustus 2009

Sabtu, 08 Agustus 2009

Deja Vu


Kenapa memilih pergi meninggalkan keluh tragedi? Tinggallah sejenak bersamanya biar rasakan sakitnya yang paling puncak! Kenapa harus berlari jika kenyataan tak kuasa hindari. Diam!
Tenggelamlah bersama wingitnya mimpi. Relakanlah diri dijambak absurditas. Rebahkan diri dikuliti sepi. Merataplah digeledah harapan...

Sebab engkau adalah lentera penerang kegelapanku
yang setia menyala saat pelupuk mataku meredup...

Senja Wingit


Ingin kukabarkan pada langit dan bintang
Ingin kuteriakan pada bumi juga semesta
Tentang panasnya api yang membakar hati!

Dengan selapik harapan dalam kecemasan yang menantang,
melawan aral sisa semalam
Bersama sepenggal-penggal mimpi dan cinta yang mambang,
menerobos sekat-sekat asmara purba
Malam disertai letupan angan membuncah, juga selaksa utopia
yang menggelegak bersama sepotong sajak, aku mengangkang
menantang awan!

Aku...

Mencintai hidup bersama lipatan tragedi dan komedi
yang menjalar disela-selanya!
Kubiarkan kunang-kunang mengiri pada cengkerik
yang menari diantara semak-semak melati...
Kubiarkan sepi dan luka menyerpih seperti yang sudah-sudah
memukulku telak, pada apa yang dinamakan 'kehancuran eksistensi'

Ahh, betapa tidak menariknya dunia
tanpa kata-kata!


Bragaweg, 5 Agustus 2009

Senin, 03 Agustus 2009

Ode Untuk Ibu

Ibu...
Hari-hari semakin seperti batu, sehitam pualam
Begitu keras, penuh gerutu
Selaksa duka, hujan airmata dan cita-cita
Engkau jadikan kisah cerita

Tapi di wajahmu itu...
Ada danau bening yang membuatku ingin tenggelam
Ada tangga bambu untukku memanjat langit

Ibu...
Engkau tahu aku bukan lagi bocah usia belasan
Pantaskah kucucurkan serupa tangisan
Demi sepotong luka yang engkau rasakan?
Sebagai tangisan pada sekian kesukaran
Sementara dirimu lebih lama mengemban beban...

Ode Untuk Bapak


Irama bathin yang membayang,
Mampu melumatkan wajah segar berubah kering dan kusam
Mambalut aneka perasaan harian, ritus pengalaman dan menumpuk pada usia yang menuju senja

Kenangan segarnya masih jelas terpahat
Mensiasati kemungkinan untuk terus menyulam hidup
dan di wajahmu itu, jelas terlukis aneka rupa:
Ukiran derita, sumpah serapah, janji imaji dan mimpi buruk!

Gelisah yang mengganggu engkau anggap ombak mendesah
Sorot mata yang pudar telah lama engkau jual pada setetes embun
Demi sepotong hidup yang nyaris belum sempat engkau selesaikan

Dibalik tubuhmu yang ringkih namun sebenarnya begitu tegar
Petuahmu yang samar namun sesungguhnya tampak jelas
Adalah baktimu demi kami...
Anak-anakmu yang dulu pernah pipis dan menangis dipangkuanmu

Sabtu, 01 Agustus 2009

Sepi Sendiri


Seperti sudah kuduga...
Kegelisahan lama menggempur tebing jantung
Menampar sisi terdalam hasrat dan nurani
Menjadikanku separuh isi separuh kosong
Teror imaji mengkerangkeng semua tanya

Aku lelah, letih menjadi begini!
Aku tak mau lama dibungkam sepi!
Kemanakah perginya harapan?

Soneta Sangkakala

Dinding kamarku seperti meleleh, langit-langit di atasku seakan runtuh
Menimpa diriku yang terbaring terjengkang
Ranjangku seakan ambruk, merosot dan tersedot ke dasar bumi
Amblas!
Aku ingin berteriak keras!
Aku ingin memekik lantang!

Aku mencium wangi Tuhan yang menyeruak dari segala lubang di diriku
Ada aroma pekat malaikat dan setan yang keluar dari pori-pori ragaku
Mataku menyala melihat separuh pelangi di kemaluanku
Sinar bulan pecah. Bintang-bintang bertaburan. Dedaunan menari

Dan...

Jasadku meledak sejadi-jadinya!
Tulang belulangku lepas berhamburan di udara
Usus terburai. Jantung terlepas. Darah tumpah
Ragaku tak membentuk serupa tubuh utuh
Berubah ceceran daging yang menyerpih gurih

Aku mencium wangi Tuhan dan sorga!
Aku mencium aroma hutan!
Aku menangis di danau hening...

Sabtu, 18 Juli 2009

Diari Yang Tidak Indah Dan Hampir Dibakar

Apa yang tersisa dalam sebuah catatan harian?
Segerombolan pembangkang nakal perusak alam pikir yang bernama kenangan...
Ah ya, kenanganku bersamamu bersemayam di dalamnya
Meninggalkan satu kesan tentang musim yang berdebu...
Dan di suatu sore yang merekah, kubacai catatan itu
Berharap ada secuil kisah yang melegakan...

Sebuah catatan harian seorang lelaki yang layak dibakar!
Tak ada yang istimewa...
Kecuali kebahagiaan kecil yang berubah cengeng,
Kemarahan-kemarahan yang terlalu memuakan...
Secuil harapan yang terlalu membosankan...

Mengingatmu aku pun merasa sakit...

Merajah Amorfati

Ia terlalu mencintai hidupnya yang terbengkalai,
sekaligus menyukai sejenis nasib yang dilupakan waktu
Tapi penyerahannya tak sia-sia!

Kadang ia menangis meraung ditengah renyah tawa...
Sejenis tawa yang nakal. Seringai yang hening. Airmata yang kering...
Ia pun menari dalam irama rintik hujan yang rancak!

Sesekali ia terbahak disela-sela tangisan yang sakit,
sejenis tangisan yang bahkan ia lupa beri nama...

Ia jelmakan dirinya menjadi sebatang kayu,
yang merelakan jasadnya dibakar api senja...
Ia serahkan raganya dirajang arang...
Ia larungkan hasratnya dilumat abu...

Demi apa yang ia namakan Cinta pada sepotong hidup!
Juga sedikit kuasa!

Bandung, 16 April 2008

Soliloqui Pshyco


Lolongan itu begitu dekat. Begitu riuh bagai gerimis. Menghinggapi jiwaku yang sepi, bagai kelopak malam tanpa cahaya kunang-kunang. Suara-suara itu mulai melumuri batas nalar dan imajiku, tentangmu. Tentang semestamu! Meminyaki kedirianku yang membeku dalam kelam.

Gerimis hitam yang menderas, membasahi mimpi dan harapan. Serupa onggokan jasad busuk yang berhenti mengekang makna dan mengokang kata. Beranikah kuhentikan cinta? Beranikah mengunyah dosa?

Mimpi!

Puri Setia Indah - Lembang, 10 Juni 2009

Jumat, 17 Juli 2009

Aku Ingin Jadi Peluru

Seandainya aku lahir kembali:
Aku ingin menjadi angin yang bersiul
Yang karena lembutnya, membuatmu lelap tertidur
Dalam buaian sang bayu hingga mimpi menjemput

Meski akhirnya semilir itu pun kini menjadi badai

Seandainya aku lahir kembali:
Aku ingin menjadi akar yang menancap pada tanah yang basah
Yang karena kokohnya, membuatmu sedemikian tegar
Menjadikanmu tumbuh setinggi beringin yang rindang

Meski akhirnya akar yang kokoh itu pun kini telah runtuh

Seandainya aku lahir kembali:
Aku ingin menjadi sungai jernih yang mengalir
Yang karena sejuknya, membuatmu tak pernah dahaga
Menjadikan dua kuncup kecil di dadamu basah karena genanganku

Meski akhirnya susuran arusku menjadi sungai yang tumpah

Seandainya aku lahir kembali:
Aku ingin jadi peluru saja
Yang tajamnya mampu membuat jantungmu terkoyak
Menjadikanmu seonggok daging yang robek bersimbah darah

Mati dalam desinganku yang melesat bersama angin
Lalu mengalir di atas sungai yang menyusuri arus
Atau menancap pada kokoh akar yang mengakar

Bandung, 26 Maret 2005

Mon Vie Dans La Grotte D’lamour

Di dalam ceruk bebatuan yang bisu aku menunggu
Menatap gumpalan awan putih yang serupa kapas
Pada luas langit yang biru, lalu memantul pada laut yang dalam
Awan itu bergulung-gulung bersama hatiku yang terjal
Ada gelisah yang menganga seperti jurang yang curam

Beginikah rasa hati yang diracau rindu?

Ada seekor burung terbang dengan sayapnya yang patah
Tak tahu ia akan hinggap di dahan yang mana
Di dekatku ada kembang yang tak dikehendaki tumbuh
Ia tercerabut dan terinjak bersama para rerumputan liar

Inikah rasanya hati yang patah?

Aku ingin menjadi burung yang terbang dengan landai
Dalam kepakan sayapnya yang elok bagai merpati
Aku inginkan kembang yang sedang tumbuh
Pada ranting yang kuncup segarnya sedang memekarkan bunga

Agar menyala kembali jentera hati yang sedang padam
Memeriahkan malam-malamku yang sepi
Menjaga batin ini biar tak mesti selalu muram
Adakah cintanya mulai malas menyapaku?

Cisarua, 20 Mei 2006

Kamis, 16 Juli 2009

Secangkir kopi, belati kalam profan dan kamerad Manik

Kita pernah bernazar untuk terus berbagi hawa
berbagi rima dan bahasa pada irama yang nyaris lupa kita beri nama
Kita ziarahi setiap nisan para pahlawan berbisa yang mengkhotbahkan surga-surga di muka bumi
kita sumpahi tanah yang kita pijak untuk berganti menjadi negeri di atas langit
Utopia yang tak pernah nyata bernama sosialisme ilmiah itu kini menjadi makam, menelungkup ke dasar tanah

Kini kita berhenti tepat di sebuah persimpangan:
apakah tetap berdiri tegak sembari terus mengepalkan tinju ke langit biru
atau memilih dilupakan sejarah daripada dikenang orang selamanya karena menyerah?

Kita pernah merekam detik-detik waktu bersama setumpuk nyali dan mulut penuh bahasa berbusa
Kita tepis setiap bingkisan kesakitan yang dikirim para malaikat yang berkelebat pada malam ketika waras terjaga lewat sekumpulan kosakata dan aksara
Kita siasati setiap kesabaran yang hampir menipis habis yang diperlumat oleh waktu dan usia
Kita jemput maut ditengah Kurusetra tanpa tameng, pasukan Cakra atau pun doa mantra-mantra

Kita menceracau tentang pekik tubuh yang minta merdeka...
Kita mengigau tentang ulah setan, manusia, tuhan dan tiran...
Saling menerka maksud jatuhnya Adam dan Hawwa...
Saling mengusap keringat, airmata dan darah pada kayu salib yang pernah kita panggul sendiri...

Kini cuma ada satu hal yang pasti: Aku dan engkau telah lama mati...


------
Dedicated to loving Ricky Manik (1978 - 2006) and all dear comrades at GEBRAK

Ada Rindu Dalam Kereta Senja

Aku ingin pulang
Namun terasa ada yang mengikat kaki dan langkahku
Ada keluh sesal yang merantai
Sebentar lagi senja ‘kan datang
Pertanda aku harus segera pergi
Meninggalkanmu yang sendiri

Aku belum sempat jujur padamu: “Aku sebenarnya masih rindu”
“Aku ingin engkau turut serta”

Sebelum jerit peluit keberangkatan memanggilku
Aku titipkan saja sepotong cinta dalam hatimu

Dan...

Ketika besi tua ini merangkak
‘Kutebarkan rinduku disepanjang rel yang kulewati
Berharap engkau mau menjemputnya di stasiun sana
Memunguti rinduku yang tercecer

Kereta mutiara selatan, 12 Oktober 2003

Labirin Senja

: Di sore senja kala itu...
Sehelai daun kering terjatuh
Sebutir debu tersapu angin
Terseret terbang lalu hilang tak ada

Telah lama aku menunggu bulan itu muncul
Dari sebentuk sabit hingga purnama penuh

: Di sore senja kala itu...
Ada yang menampar pipi wajahku
Membentur kepala, menyayat mata
Mencabik dada, memecah bibir
Menghancurkan hati berkeping-keping,
Hingga berdarah-darah

: Di sore senja kala itu...
Ada ranting ilalang kering menusuk bulan
Menghalangi pandanganku
Aku merebah, mengerang, mengering
Melihat purnama berpaling dari bintang

'Nopember 2005

Minggu, 12 Juli 2009

Efek Rumah Kaca yang tak jadi Manggung dan diskon buku


Sore kemarin langit tampak keruh setelah aku diserang panas dingin. Aku merasa tak karuan sendiri. Serba salah. Aku kirimi teman lamaku yang ada di Sukabumi sebuah pesan pendek. Menanyakan kapan mau ke Bandung. Temanku itu langsung membalasnya, "Gwa lagi dijalan menuju Bandung. Mau nonton Efek Rumah Kaca di CCF". Aha, sebuah kebetulan yang berpihak. Tanpa menunggu lama aku pun bergegas mandi, mengguyur tubuhku yang masih panas dingin karena meriang. Aku kenakan sepatu boots kesayanganku dan kaos Homicide yang belum sempat kusetrika. Ditambah sweater seadanya. Sejenak aku pandangi diriku didepan cermin. Ah, penampilan yang lumayan rebel sekaligus poppist. Hiks!

Aku meluncur dengan motor hitamku dengan kecepatan sedang. Sesampainya di CCF aku bingung mau parkir dimana, karena lahan parkir di CCF hanya khusus buat panitia dan band beserta kru. Berfikir sebentar. Ya, aku parkir saja di Gramedia karena CCF berada persis di samping Gramedia. Rupanya Gramedia sedang ada hajatan, ada diskon buku. Sambil menunggu temanku yang masih di perjalanan, aku melihat-lihat acara diskon buku. Tak ada niat untuk beli buku sore itu, tapi karena banyak buku yang di diskon sampai 70%, akhirnya tergoda juga buat membeli beberapa buku. Akhirnya kubeli juga novel Berani Beli Cinta Dalam Karung karya Phutut Ea dan Kitab Omong Kosong karya Seno Sumira Ajidarma, plus sebuah buku resep masakan.

Masih sambil menunggu temanku tadi, aku duduk-duduk di depan CCF. Sambil membacai sepintas buku yang barusan kubeli, sesekali aku melihat-lihat ke arah jalan, jangan-jangan temanku itu sudah datang. Ternyata tak ada. Sesekali pula mataku menancap pada perempuan-perempuan berpinggul keren yang dibalut celana legging, yang melintas di depanku. Hmmm...
Tit...tit...tit.... aku mendapat pesan pendek. Dari temanku. "Gwa lagi makan dulu bentar. Tungguin aja". Ah, aku disuruh menunggu lagi, dan menunggu adalah kutukan.

Temanku pun nongol juga. Setelah berbasa-basi sebentar langsung kami menuju antrian tiket box di CCF. Begitu kami tiba giliran untuk beli tiket, ternyata tiketnya sold out alias habis. Maot! Akhirnya dengan wajah yang keruh kami hanya bisa diam. Berfikir bagaimana bisa masuk tanpa tiket. Tentu saja impossible. Pada akhirnya tiket box dibuka lagi. Tanpa pikir panjang kami beli tiket yang harganya 20 ribu. Tapi ternyata Efek Rumah Kaca tak jadi manggung. Entah kenapa. Rasa kecewa terlihat di wajah temanku itu, karena Efek Rumah Kaca adalah alasan kenapa dia jauh-jauh dari Sukabumi ke Bandung karena pengen nonton band yang keren ini. Tapi ya sudah, kami masih sempat nonton beberapa band yang tak kalah kerennya pada malam itu: Polyster Embassy, Zack and the Popo dan The Milo...

Sabtu, 11 Juli 2009

Bandung Tak Sesejuk Dulu


Bandung sekarang tak lagi dingin. Embun-embunnya tak lagi mampu membuatku menggigil. Siapa lagi yang bisa disalahkan ketika pepohonan rindang banyak ditebang, bangunan antik banyak yang digusur dan berubah fungsi, bukit-bukit asri telah disulap menjadi villa, taman kota menjadi bising dan banyak galian dimana-mana. bandung nyaris tergesa-gesa supaya mirip Jakarta: banyak gedung bertingkat, polusi, kemacetan, pedagang kaki lima yang penataannya berantakan, panas dan kering...

Jika aku boleh berandai-andai tentang kota Bandung 50 - 70 tahun yang lalu, dan aku hidup pada masa itu, tentulah bandung masih relatif sejuk, hijau, tenang dan dingin. Kota tempat dimana aku bisa jalan-jalan dengan naik andong dari stasiun kota menuju Alun-alun atau ke Bragaweg, sebelum pulang ke indekoost. Saling menebar pesona dan senyum kepada noni-noni Walanda. Tapi ketika aku mulai membuka mata ini lebar-lebar, aku seakan berada di sebuah ruang sempit, sebuah tempat dimana banyak kaca-kaca gedung mengkilap, spanduk dan papan reklame yang bertebaran dengan rayuan bombastis iklan-iklan yang menohok, bus patas yang berjubel...

Tapi bukankah setiap kota berhak punya memiliki detak jantung dan iramanya yang khas dan tersendiri?
Lihatlah kota-kota diseluruh dunia yang hanya punya satu detak irama dan tujuan: Memburu uang!
Ah, Bandung tempo doeloe itu kini hanya bisa kuratapi dalam bingkai photo dan lukisan...