Senin, 30 November 2009

Malam yang janggal

Mata yang terbenam nanar
Dalam bingkai kisah yang muram
Liar, menyalak dalam kepak kesunyian yang mencekam
Hitam, menyeruak dalam lipatan ketaksengajaan
Tentang sebuah mimpi yang membawaku pada pelabuhan tak betepi
Kubiarkan pelupuk mataku mengurai sungai yang deras

Dalam liang hampa kesunyian, dalam kepompong diri yang dekaden
Ada raga yang terkoyak, batin yang mengerang!
Jerit lolongan seumpama meminta tolong...
Lukaku menyeruak dalam lipatan takdir seperti yang sudah-sudah
Aku minta didekap!

Dimana kuminta kesempatan
Kudapati diri ini semakin meleleh terbakar
Tak ada yang bisa kutunggu
Selain seputaran waktu yang tak bosan menderak

Jumat, 06 November 2009

Tirani Sang Waktu

Apa yang sebenarnya kita tunggu?
Hanya mengikuti kemana setiap senja mulai berangkat!
Kenapa harus terburu-buru?
Bukankah setiap subuh adalah sebuah misteri?
Oh, sang waktu: tak bukan adalah rantai belenggu
Yang menjadikan setiap nafas menjadi serupa ketakberdayaan!
Terjebak dalam lingkar tubuh yang terbakar...

Ini sudah cukup...

Di atas bangkai-bangkai dogmatisme yang disebut takdir:
aku membungkus diri sendiri dalam secarik kain kafan kalam puitis...
Di antara gelinding kepastian utopia yang tak pernah sampai:
aku menolak menjadi bidak para thagut despotik yang menyuruhku mati...
Di antara perantara nasib yang dipermainkan kerumunan lalat-lalat pasar:
aku telanjangi serupa hegemoni tata dunia yang membanal...
Di ujung tapal batas dunia yang semakin durjana:
aku dilumat api senja dalam kilauan sekam berdebu...
Di tepi peradaban para manusia penyembah berhala saat senja mulai mangkir dari tanah asal:
aku terpelanting dihunus mimpi...

Aku coba mengeja aneka nalar dan prasangka
Di antara tumpukan sampah propaganda usang
Aku diam terdampar nyaris binasa
Aku berlutut - Terlentang - Kemudian hening
Dengan semulut penuh rintihan laksana menahan birahi:
Aku sudah lelah...
Ini sudah cukup....