Selasa, 29 Maret 2011

Di langit tak ada cahaya

Desau-desau angin yang bersiul di pucuk dedaun pohon mangga muda.
Semilirnya menghantarkan sejuk di seruang dada.
Membawaku pada sebuah lamunan yang paling jauh.

Derasnya arus kudapan sungai di bawah tiang-tiang pancang rumahku.
Membisingkan telinga-hatiku yang tak henti menggumamkan gemuruh.

Aku temui diriku dalam seonggok sepi murung.
Sejenis kesepian atas lakon hidup yang enggan berkelana terlalu lama.
Diri yang mulai malas menapaki jenjang-jenjang hidup dan harapan yang kian memanjang.
Menggeliat dalam lipatan-lipatan takdir yang menyejarah di kelapangan luasnya jiwa ragawi.

Oh, diri kerdil yang di amuk badai!
Hamparan kata-kata kini hanya mewujud dalam bingkai ratap-ratap doa.
Entah di dengar atau tidak di telinga tuhan.
Aku hanya madah saja!
Memasrahkan diri entah dikutuk menjadi apa.
Aku tidak tahu...

Adam Hawwa Jatuh ke Bumi

Dunia masih serupa genangan. Lahar-lahar mengakar, menjalar. Gelap.
Bumi serupa hutan dan semak belukar rerumputan. Tak ada hewan, tak ada suara.
Dan tanah belum menjelma suaka-suaka bagi jejak kaki para pendosa.

Di atas lelapis langit ada sepasang dara perjaka telanjang.
Tersesat membabat belukar asmara purba. Saling berlari.
Berkejaran di bawah rindang pohon buah terlarang dan kudapan sungai bening.

Dua onggok tubuh terkapar di altar rerumputan hijau.
Melepas penat. Berbagi keringat cinta yang kelak berbuah laknat.
Sepasang insan yang mabuk hasrat berkarat.

Asyik bertukar mata demi saling melihat perkakas syahwat
yang belum sempat mereka beri nama.
Namun sekepal rasa sedang menari-nari diantara sulur-sulur dan kelopak-kelopak hangat.
Yang tersembunyi dibalik pelepah dedaun surga.

Tuhan Maha Melihat. Tuhan mulai dilindap rasa cemburu.
Bapa leluhur para manusia mulai menebar angkara.
Matanya mengeluarkan api!
Dia menyuruh Adam - Hawwa segera turun ke Bumi.

Sabtu, 19 Maret 2011

Lamunan kering di senja yang basi

Matahari menukik terik
Siang menyiang menuju senja di kolong jembatan Pasopati
Kesadaran asing telah memapahku, mengajakku pergi
menuju lilitan mimpi di dalam lipatan sejarah.
Mimpi itu tetap kusam, lamunan itu tetap kering.

Kujumpai diri dalam selongsong yang kosong.
Aku dilumat diam.
Aku duduk melamun bak The Thinker pahatan Auguste Rodin.
Di tepi senja yang nyaris basi.
Tak banyak cakap sebab akulah sang pejalan sunyi!
Kubiarkan seisi dada terus membathin. Menggumamkan entah apa.

Aku tatap bebatuan. Dedaunan dihempas angin.
Aku bersijingkat perlahan-lahan. ku hindari lubang-lubang jalanan.
Aku lompati genangan lumpur penuh becek. Aku melenguh sesal.
Kepala merunduk lesu. Kaki tetap mengayun. Menyeret kerikil di alas sepatu.
Aku tendang kaleng bekas minuman. ku berhenti di persimpangan.
Aku ingin teriak keras!

Kawan, ternyata jalan dimuka masihlah teramat panjang.
Rembulan di atas kepala pecah di hunus mimpi.
Aku mau pulang....

Kamis, 17 Maret 2011

Merekam Jejak Hujan


Lihatlah, hujan turun lagi...
Kehadiran hujan bisa berarti sebuah pertanda buatku
Pada sebuah kesan lama yang menggenangi sisi ingatanku
Tubuhku menggigil, termangu di depan jendela
Menatap serupa telaga kecil di depan beranda
Aha, mari kita buat lagi perahu kertas!

Dalam tetesannya kulihat embun-embun kecil itu menari irama rintik
Dalam rinainya terlukis wajah segar kenangan masa kecil

Tentangku yang dulu begitu nakal
Tentang kita yang terlalu lugu
Bahkan dinginnya masih terasa bukan?
Entah kenapa, kehadiran hujan menghadirkan sebuah pertanda...
Rinai itu membuatku galau sekaligus rindu!