Sabtu, 18 Juli 2009

Diari Yang Tidak Indah Dan Hampir Dibakar

Apa yang tersisa dalam sebuah catatan harian?
Segerombolan pembangkang nakal perusak alam pikir yang bernama kenangan...
Ah ya, kenanganku bersamamu bersemayam di dalamnya
Meninggalkan satu kesan tentang musim yang berdebu...
Dan di suatu sore yang merekah, kubacai catatan itu
Berharap ada secuil kisah yang melegakan...

Sebuah catatan harian seorang lelaki yang layak dibakar!
Tak ada yang istimewa...
Kecuali kebahagiaan kecil yang berubah cengeng,
Kemarahan-kemarahan yang terlalu memuakan...
Secuil harapan yang terlalu membosankan...

Mengingatmu aku pun merasa sakit...

Merajah Amorfati

Ia terlalu mencintai hidupnya yang terbengkalai,
sekaligus menyukai sejenis nasib yang dilupakan waktu
Tapi penyerahannya tak sia-sia!

Kadang ia menangis meraung ditengah renyah tawa...
Sejenis tawa yang nakal. Seringai yang hening. Airmata yang kering...
Ia pun menari dalam irama rintik hujan yang rancak!

Sesekali ia terbahak disela-sela tangisan yang sakit,
sejenis tangisan yang bahkan ia lupa beri nama...

Ia jelmakan dirinya menjadi sebatang kayu,
yang merelakan jasadnya dibakar api senja...
Ia serahkan raganya dirajang arang...
Ia larungkan hasratnya dilumat abu...

Demi apa yang ia namakan Cinta pada sepotong hidup!
Juga sedikit kuasa!

Bandung, 16 April 2008

Soliloqui Pshyco


Lolongan itu begitu dekat. Begitu riuh bagai gerimis. Menghinggapi jiwaku yang sepi, bagai kelopak malam tanpa cahaya kunang-kunang. Suara-suara itu mulai melumuri batas nalar dan imajiku, tentangmu. Tentang semestamu! Meminyaki kedirianku yang membeku dalam kelam.

Gerimis hitam yang menderas, membasahi mimpi dan harapan. Serupa onggokan jasad busuk yang berhenti mengekang makna dan mengokang kata. Beranikah kuhentikan cinta? Beranikah mengunyah dosa?

Mimpi!

Puri Setia Indah - Lembang, 10 Juni 2009

Jumat, 17 Juli 2009

Aku Ingin Jadi Peluru

Seandainya aku lahir kembali:
Aku ingin menjadi angin yang bersiul
Yang karena lembutnya, membuatmu lelap tertidur
Dalam buaian sang bayu hingga mimpi menjemput

Meski akhirnya semilir itu pun kini menjadi badai

Seandainya aku lahir kembali:
Aku ingin menjadi akar yang menancap pada tanah yang basah
Yang karena kokohnya, membuatmu sedemikian tegar
Menjadikanmu tumbuh setinggi beringin yang rindang

Meski akhirnya akar yang kokoh itu pun kini telah runtuh

Seandainya aku lahir kembali:
Aku ingin menjadi sungai jernih yang mengalir
Yang karena sejuknya, membuatmu tak pernah dahaga
Menjadikan dua kuncup kecil di dadamu basah karena genanganku

Meski akhirnya susuran arusku menjadi sungai yang tumpah

Seandainya aku lahir kembali:
Aku ingin jadi peluru saja
Yang tajamnya mampu membuat jantungmu terkoyak
Menjadikanmu seonggok daging yang robek bersimbah darah

Mati dalam desinganku yang melesat bersama angin
Lalu mengalir di atas sungai yang menyusuri arus
Atau menancap pada kokoh akar yang mengakar

Bandung, 26 Maret 2005

Mon Vie Dans La Grotte D’lamour

Di dalam ceruk bebatuan yang bisu aku menunggu
Menatap gumpalan awan putih yang serupa kapas
Pada luas langit yang biru, lalu memantul pada laut yang dalam
Awan itu bergulung-gulung bersama hatiku yang terjal
Ada gelisah yang menganga seperti jurang yang curam

Beginikah rasa hati yang diracau rindu?

Ada seekor burung terbang dengan sayapnya yang patah
Tak tahu ia akan hinggap di dahan yang mana
Di dekatku ada kembang yang tak dikehendaki tumbuh
Ia tercerabut dan terinjak bersama para rerumputan liar

Inikah rasanya hati yang patah?

Aku ingin menjadi burung yang terbang dengan landai
Dalam kepakan sayapnya yang elok bagai merpati
Aku inginkan kembang yang sedang tumbuh
Pada ranting yang kuncup segarnya sedang memekarkan bunga

Agar menyala kembali jentera hati yang sedang padam
Memeriahkan malam-malamku yang sepi
Menjaga batin ini biar tak mesti selalu muram
Adakah cintanya mulai malas menyapaku?

Cisarua, 20 Mei 2006

Kamis, 16 Juli 2009

Secangkir kopi, belati kalam profan dan kamerad Manik

Kita pernah bernazar untuk terus berbagi hawa
berbagi rima dan bahasa pada irama yang nyaris lupa kita beri nama
Kita ziarahi setiap nisan para pahlawan berbisa yang mengkhotbahkan surga-surga di muka bumi
kita sumpahi tanah yang kita pijak untuk berganti menjadi negeri di atas langit
Utopia yang tak pernah nyata bernama sosialisme ilmiah itu kini menjadi makam, menelungkup ke dasar tanah

Kini kita berhenti tepat di sebuah persimpangan:
apakah tetap berdiri tegak sembari terus mengepalkan tinju ke langit biru
atau memilih dilupakan sejarah daripada dikenang orang selamanya karena menyerah?

Kita pernah merekam detik-detik waktu bersama setumpuk nyali dan mulut penuh bahasa berbusa
Kita tepis setiap bingkisan kesakitan yang dikirim para malaikat yang berkelebat pada malam ketika waras terjaga lewat sekumpulan kosakata dan aksara
Kita siasati setiap kesabaran yang hampir menipis habis yang diperlumat oleh waktu dan usia
Kita jemput maut ditengah Kurusetra tanpa tameng, pasukan Cakra atau pun doa mantra-mantra

Kita menceracau tentang pekik tubuh yang minta merdeka...
Kita mengigau tentang ulah setan, manusia, tuhan dan tiran...
Saling menerka maksud jatuhnya Adam dan Hawwa...
Saling mengusap keringat, airmata dan darah pada kayu salib yang pernah kita panggul sendiri...

Kini cuma ada satu hal yang pasti: Aku dan engkau telah lama mati...


------
Dedicated to loving Ricky Manik (1978 - 2006) and all dear comrades at GEBRAK

Ada Rindu Dalam Kereta Senja

Aku ingin pulang
Namun terasa ada yang mengikat kaki dan langkahku
Ada keluh sesal yang merantai
Sebentar lagi senja ‘kan datang
Pertanda aku harus segera pergi
Meninggalkanmu yang sendiri

Aku belum sempat jujur padamu: “Aku sebenarnya masih rindu”
“Aku ingin engkau turut serta”

Sebelum jerit peluit keberangkatan memanggilku
Aku titipkan saja sepotong cinta dalam hatimu

Dan...

Ketika besi tua ini merangkak
‘Kutebarkan rinduku disepanjang rel yang kulewati
Berharap engkau mau menjemputnya di stasiun sana
Memunguti rinduku yang tercecer

Kereta mutiara selatan, 12 Oktober 2003

Labirin Senja

: Di sore senja kala itu...
Sehelai daun kering terjatuh
Sebutir debu tersapu angin
Terseret terbang lalu hilang tak ada

Telah lama aku menunggu bulan itu muncul
Dari sebentuk sabit hingga purnama penuh

: Di sore senja kala itu...
Ada yang menampar pipi wajahku
Membentur kepala, menyayat mata
Mencabik dada, memecah bibir
Menghancurkan hati berkeping-keping,
Hingga berdarah-darah

: Di sore senja kala itu...
Ada ranting ilalang kering menusuk bulan
Menghalangi pandanganku
Aku merebah, mengerang, mengering
Melihat purnama berpaling dari bintang

'Nopember 2005

Minggu, 12 Juli 2009

Efek Rumah Kaca yang tak jadi Manggung dan diskon buku


Sore kemarin langit tampak keruh setelah aku diserang panas dingin. Aku merasa tak karuan sendiri. Serba salah. Aku kirimi teman lamaku yang ada di Sukabumi sebuah pesan pendek. Menanyakan kapan mau ke Bandung. Temanku itu langsung membalasnya, "Gwa lagi dijalan menuju Bandung. Mau nonton Efek Rumah Kaca di CCF". Aha, sebuah kebetulan yang berpihak. Tanpa menunggu lama aku pun bergegas mandi, mengguyur tubuhku yang masih panas dingin karena meriang. Aku kenakan sepatu boots kesayanganku dan kaos Homicide yang belum sempat kusetrika. Ditambah sweater seadanya. Sejenak aku pandangi diriku didepan cermin. Ah, penampilan yang lumayan rebel sekaligus poppist. Hiks!

Aku meluncur dengan motor hitamku dengan kecepatan sedang. Sesampainya di CCF aku bingung mau parkir dimana, karena lahan parkir di CCF hanya khusus buat panitia dan band beserta kru. Berfikir sebentar. Ya, aku parkir saja di Gramedia karena CCF berada persis di samping Gramedia. Rupanya Gramedia sedang ada hajatan, ada diskon buku. Sambil menunggu temanku yang masih di perjalanan, aku melihat-lihat acara diskon buku. Tak ada niat untuk beli buku sore itu, tapi karena banyak buku yang di diskon sampai 70%, akhirnya tergoda juga buat membeli beberapa buku. Akhirnya kubeli juga novel Berani Beli Cinta Dalam Karung karya Phutut Ea dan Kitab Omong Kosong karya Seno Sumira Ajidarma, plus sebuah buku resep masakan.

Masih sambil menunggu temanku tadi, aku duduk-duduk di depan CCF. Sambil membacai sepintas buku yang barusan kubeli, sesekali aku melihat-lihat ke arah jalan, jangan-jangan temanku itu sudah datang. Ternyata tak ada. Sesekali pula mataku menancap pada perempuan-perempuan berpinggul keren yang dibalut celana legging, yang melintas di depanku. Hmmm...
Tit...tit...tit.... aku mendapat pesan pendek. Dari temanku. "Gwa lagi makan dulu bentar. Tungguin aja". Ah, aku disuruh menunggu lagi, dan menunggu adalah kutukan.

Temanku pun nongol juga. Setelah berbasa-basi sebentar langsung kami menuju antrian tiket box di CCF. Begitu kami tiba giliran untuk beli tiket, ternyata tiketnya sold out alias habis. Maot! Akhirnya dengan wajah yang keruh kami hanya bisa diam. Berfikir bagaimana bisa masuk tanpa tiket. Tentu saja impossible. Pada akhirnya tiket box dibuka lagi. Tanpa pikir panjang kami beli tiket yang harganya 20 ribu. Tapi ternyata Efek Rumah Kaca tak jadi manggung. Entah kenapa. Rasa kecewa terlihat di wajah temanku itu, karena Efek Rumah Kaca adalah alasan kenapa dia jauh-jauh dari Sukabumi ke Bandung karena pengen nonton band yang keren ini. Tapi ya sudah, kami masih sempat nonton beberapa band yang tak kalah kerennya pada malam itu: Polyster Embassy, Zack and the Popo dan The Milo...

Sabtu, 11 Juli 2009

Bandung Tak Sesejuk Dulu


Bandung sekarang tak lagi dingin. Embun-embunnya tak lagi mampu membuatku menggigil. Siapa lagi yang bisa disalahkan ketika pepohonan rindang banyak ditebang, bangunan antik banyak yang digusur dan berubah fungsi, bukit-bukit asri telah disulap menjadi villa, taman kota menjadi bising dan banyak galian dimana-mana. bandung nyaris tergesa-gesa supaya mirip Jakarta: banyak gedung bertingkat, polusi, kemacetan, pedagang kaki lima yang penataannya berantakan, panas dan kering...

Jika aku boleh berandai-andai tentang kota Bandung 50 - 70 tahun yang lalu, dan aku hidup pada masa itu, tentulah bandung masih relatif sejuk, hijau, tenang dan dingin. Kota tempat dimana aku bisa jalan-jalan dengan naik andong dari stasiun kota menuju Alun-alun atau ke Bragaweg, sebelum pulang ke indekoost. Saling menebar pesona dan senyum kepada noni-noni Walanda. Tapi ketika aku mulai membuka mata ini lebar-lebar, aku seakan berada di sebuah ruang sempit, sebuah tempat dimana banyak kaca-kaca gedung mengkilap, spanduk dan papan reklame yang bertebaran dengan rayuan bombastis iklan-iklan yang menohok, bus patas yang berjubel...

Tapi bukankah setiap kota berhak punya memiliki detak jantung dan iramanya yang khas dan tersendiri?
Lihatlah kota-kota diseluruh dunia yang hanya punya satu detak irama dan tujuan: Memburu uang!
Ah, Bandung tempo doeloe itu kini hanya bisa kuratapi dalam bingkai photo dan lukisan...