Jumat, 25 Desember 2009

Cicakung di suatu sore

Lama aku berkhayal tentang sahaja alam desa
dimana batu-batu bisu menunggu, dimana katak-katak saling mendengkur atau angsa-angsa berbagi birahi.

Di sepanjang pematang ini aku berpuisi
menorehkan pena tentang kekejaman takdir
sambil berharap kepada semesta yang malas mengobati luka
di atas kaki langitku yang sedang berdarah ditikam rasa.

Mentari senja Cicakung sedang telanjang
aku menghela nafas, kubiarkan diriku terlentang
mengais harapan pada apa yang telah hilang agar kembali
pulang mengetuk pintu beranda masalalu!

Di atas selembar lembah ini aku menjelma seekor burung
dalam kepakan sayap yang lemah-lambat
aku terperangkap dalam jala-jala masa depan yang kelabu
di saat bumi dan hujan mulai mangkir dari para pembajak alam
aku beranang di antara genangan lanskap tak berpengharapan!

Lembah Cicakung, 21 Desember 2009

Sabtu, 12 Desember 2009

Membaca dalam kepungan kesunyian

Kala kesunyian sedang membunuhku
Larilah pada buku!
Ya, kucoba berlari kesana:
Mengunyah aksara dan makna
Juga kaidah yang membanyol

Kupunya pikiran terbang, kupunya jiwa melayang:
Secuplik kata-kata bung Karno terngiang-ngiang...

''Saya mencari consolation, hiburan hidup dari buku-buku. Saya membaca buku-buku. Saya meninggalkan alam ini, alam jasmaniah. Saya punya pikiran, saya punya mind terbang, meninggalkan alam kemiskinan ini, masuk di dalam ''world of the mind''; berjumpa dengan orang-orang besar, dan bicara dengan orang-orang besar, bertukar pikiran dengan orang-orang besar."

Sabtu, 05 Desember 2009

Selepas bapakku pergi

Bap...
Subuh yang dingin basah itu engkau pergi jauh
Bahkan engkau pun tak sempat pamit
Engkau memilih pergi ke tempat yang tak bisa terjamah
Jauh sekali! Jauh sekali....

Bap...
Kini aku sendiri dan sering termangu
Mengingat keseluruhan adamu dan tentangmu:
Tentang rindu-dendam yang mengambang
Tentang marah-sesal yang muram
Tentang masa-lalu yang menantang
Tentang hari esok yang rembang
Engkaulah yang dulu membuat aku ingin selalu cepat pulang

Bap...
Dadaku selalu penuh sesak jika membereskan lemari buku
Sebab dalam lipatan buku-bukumu itu
Ada tertulis titimangsa kapan dan dimana buku itu kau beli
Buku-buku yang pernah kau beli dengan berdarah-darah!

Bap...
Kini kurasakan apa yang engkau dulu pernah rasakan
Ketika menantang hidup:
Pahit. Getir. Terlalu pahit hidup ini bap...
Rindu. Sayang. Terlalu rindu aku padamu bap...
Selepas kau pergi, aku banyak menanggung beban hidup

Datanglah dimimpiku malam ini, bap...


:buat Bapak (1947-2009)

Yang tertanam dalam sekam

Hey...
Engkau ambil apa saja yang ada di dekatku
Tumpukan buku-buku itu; majalah-majalah itu
Silahkan, ambilah!
Bahkan jika kau sudi melahap tubuhku, lahaplah...
Kecuali darah dan roh yg bersemayam kutuk ini
Yang merana dikunyah raga bernyawa

Tak ada yang bisa kubanggakan kecuali secuil jiwaku
Luasnya yang tak seberapa, jangan pula kau tanya
Sedalam apa jiwaku ini
Jiwaku terlalu kecil dan sepi, kawan...

Ohh, jiwaku yang nelangsa!
Engkau tak seluas biru langit atau sedalam biru lautan
Cuma Engkau jiwaku, satu-satunya yang kupunya
Sebab diluar jiwaku hanyalah fana...

Jiwaku adalah api maya
Dan ragaku hanyalah sekam

Kamis, 03 Desember 2009

Tunggulah, sebentar saja...

Mari lupakan sejenak tentang rasa yang sedang kita rasa
Juga tentang setumpuk rencana yang kadaluwarsa
Aku dan kamu tak sekedar sadar dimana sebenarnya kita berada
Tapi kita juga mahfum tentang betapa sesaknya dada kita
Menghitungi jejak langkah yang tak bertepi ini

Mari kita rengkuh mimpi tanpa harus mengucap kata 'Terserah'
Apalagi mengeluh keluh, pasrah dan menyerah
Biarlah bumi terus mengitari api meski kita tetap belum mengerti
Tentang arti sakit, marah dan airmata

Kemarilah, sayang...
Mari kita berdua nyalakan lentera mungil itu
Aku akan tetap disisimu meski kutahu hatimu masih merajam perih
Dan kita jangan menambah kecewa dan nestapa
Hanya karena mimpi yang kita tunggu itu tak pernah ada....

Rabu, 02 Desember 2009

Pada sebuah ranjang, tubuhku melayang!

Gerimis bulan Desember membingkai langit yang tampak berantakan
Tetesannya lembut namun menyimpan satir sekaligus rasa yang kusut masai
Kita berdua saling melahap langit sehingga hangatnya menyerpih gurih
Menyerupai butiran-butiran keringat yang asin

Suara-suara nafas yang tersengal memecah keheningan
Menghantarkan kita pada pintu surga buatan atau neraka rakitan
Tapi kita berdua tak perduli!
Biarkan semua terjadi sejadi-jadinya!
Lagipula kita terlampau rakus menikmati Dipan Senja itu bukan?

Kita bergumul dalam temaram saat tubuh meronta lirih
Sambil berharap malam tak terlalu pekat, kita tuntaskan sampai habis


Lembang, 1 Desember 2009