Kamis, 16 Juli 2009

Secangkir kopi, belati kalam profan dan kamerad Manik

Kita pernah bernazar untuk terus berbagi hawa
berbagi rima dan bahasa pada irama yang nyaris lupa kita beri nama
Kita ziarahi setiap nisan para pahlawan berbisa yang mengkhotbahkan surga-surga di muka bumi
kita sumpahi tanah yang kita pijak untuk berganti menjadi negeri di atas langit
Utopia yang tak pernah nyata bernama sosialisme ilmiah itu kini menjadi makam, menelungkup ke dasar tanah

Kini kita berhenti tepat di sebuah persimpangan:
apakah tetap berdiri tegak sembari terus mengepalkan tinju ke langit biru
atau memilih dilupakan sejarah daripada dikenang orang selamanya karena menyerah?

Kita pernah merekam detik-detik waktu bersama setumpuk nyali dan mulut penuh bahasa berbusa
Kita tepis setiap bingkisan kesakitan yang dikirim para malaikat yang berkelebat pada malam ketika waras terjaga lewat sekumpulan kosakata dan aksara
Kita siasati setiap kesabaran yang hampir menipis habis yang diperlumat oleh waktu dan usia
Kita jemput maut ditengah Kurusetra tanpa tameng, pasukan Cakra atau pun doa mantra-mantra

Kita menceracau tentang pekik tubuh yang minta merdeka...
Kita mengigau tentang ulah setan, manusia, tuhan dan tiran...
Saling menerka maksud jatuhnya Adam dan Hawwa...
Saling mengusap keringat, airmata dan darah pada kayu salib yang pernah kita panggul sendiri...

Kini cuma ada satu hal yang pasti: Aku dan engkau telah lama mati...


------
Dedicated to loving Ricky Manik (1978 - 2006) and all dear comrades at GEBRAK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar