Minggu, 30 Januari 2011

Semacam ISENG ||| Sejumlah Sajak bagi Sejumlah Nama [#1/3] karya Rena Anarkarani


#1 – Kepada Bunga Belati

~ buat Bunga Matahari Borneo Hehamahua

belatiku, apa kabar kamu di sana? telah sampai kepada kita hikayat sebuah negeri yang dikuasai gerombolan pencuri. masihkah kau berdiri di atas kaki sendiri? aku belum terjaga penuh, masih berlari sempoyongan setengah pejam. di luar diri, pagi saban hari menumpahkan orang-orang tidur ke setiap ruas jalan. kau tentu merasakan, ada rangkaian tragedi yang berkembang-biak dari kantuk sepanjang sabang sampai merauke. di sana, siang sore malam, kepala negara telah berulangkali mengeluh, mengigau, dan bertingkah merupa kerbau; ia seperti minta dipenggal.

saat ini aku baru sebatas bisa mendoakanmu agar tetap tajam. tak banyak yang dapat kulakukan sebagai kawan senasib. aku tahu, kau muak menyimak bagaimana ibukota menyembunyikan kisah tentang luapan lumpur terus menggorok masa depan saudara-saudari kita. di tengah kerumunan kaki para pemimpin yang berlari di tempat sebagai pemimpi, kau juga sempat murka melihat gerombolan muda-mudi kota merakit cita-cita setolol iklan, membangun masa depannya sebodoh logika acara hiburan dan segoblok ilusi di televisi.

tapi yakinlah, masih ada tanah tempat kita menanam kemerdekaan dan harga diri. aku harap, sebelum semua desa dirampok ibukota dan dikuras negeri-negeri asing, kau sempat mengasah hati lewat kehidupan orang-orang kampung yang belum diracuni bau busuk kota, barangkali dengan begitu, kau akan jauh lebih tajam dari keharuman melati. kita percaya bukan, dari mereka siapa pun bisa belajar melakukan perubahan dengan alami tanpa banyak basa-basi, seraya berlatih mempertahankan diri tanpa melukai.

#2 - Enigma

~ buat Andrenaline Katarsis

terasa sekali kehadiran kita menyusut dalam gerak jarum jam. apa yang berjatuhan seturut guguran kalender ingatkan kita bahwa segala yang kita sentuh bukan milik kita. kau pernah bilang: kita merupa sehamparan jejak dari jejak-jejak sebelumnya. telah banyak tanda-tanda tertinggal, semuanya timbul-tenggelam merentang jawab demi jawab mengambang. kita bertanya-tanya, berapa banyak kata lagi untuk kita saling bertukar sapa, berbagi menyambung cerita? tak sesiapa pun tahu.

kita hanya kerap merasakan, usai saling mendengar, bicara, dan membaca masing-masing coretan, kita lagi-lagi dihadapkan pada tembok-tembok dingin. tapi ya sudah. tenang saja. ada banyak hari-hari baru disimpan putaran waktu. kita masih berkesempatan mengisinya lagi dengan keakraban. aku rasa kita sama-sama mengerti, percakapan kita di sini pada akhirnya menjadi jejak penuh teka-teki. tak apa. kita sadar, di ujung setiap obrolan kita, ada diam bersembunyi, seperti isyarat rindu yang tak selalu berbunyi.

#3 – Yang Memesan Sabda Saratdusta

~ buat Anarquia Zi

zi, aku tak tahu sejak kapan kau menyukai puisi? di taman bermain ini tamu-tamu dan semua teman kita cukup lama meraba-raba rupa di balik setiap kata dan kalimat yang aku tulis. ada sesuatu tumbuh di antara kita, semacam dusta atau selaksa tanya. kau barangkali sempat berpikir jika puisi memungkinkan kita bersitatap tanpa harus mengenal rupa; sekalipun ia kita baca bukan untuk kita percaya.

aku terus mencari jalan ke luar dari kesementaraan dan kepura-puraan. namun gerak pena kita belum lagi menemukan jembatan bagi perjalanan yang kehilangan rambu-rambu. aku ingin kau berlari dan terus berlari, lewati banyak tikungan, hingga menemukan kehadiran seruas jalan tempat kakimu melangkah lurus tak putus-putus. di sana, mungkin kau dapat merasakan pelukan hangat cahaya yang kau rindu.

kau tak perlu cemas jika aku menulis dalam gelap. kota ini memang dari dulu begitu, hanya memenuhi sisi-sisi jalan dengan udara dingin dan kabut. telah lama persimpangan demi persimpangan sebatas mengisahkan semesta lampu meredup pelan-pelan menuju padam. ada banyak gerak kehilangan hangat. berjalan dengan memicingkan mata seraya tersenyum pura-pura telah menjadi budaya. demikianlah kota. nyaris setiap orang mewartakan pesan damai terhadap alam dengan serakan debu, batu-batu pecah, gumpalan asap hitam, atau gundukan sampah. aku kebingungan mencari alamat kisah kupu-kupu lucu untuk terbitkan senyum pada bibirmu.

di kota ini, puisiku sulit sekali menjelma kunang-kunang yang hinggap mengecup keningmu. ia sebenarnya begitu ingin menyaksikan kau tersipu malu dengan rona pipi sewarna stroberi, sayang ia terlanjur tumbuh dalam kegaduhan dan huru-hara, bukan berkembang di taman permai penuh damai. aku harap, kau tak marah jika aku tidak pernah bisa mengombalimu. semoga saja kau masih menyukai puisi, tak berniat membencinya sekalipun aku hanya punya cerita duka.

ya untuk sementara, paling tidak kau tahu, di kota ini puisi belum benar-benar mati, ia masih mungkin tumbuh sebagai jarum untukmu menjahit luka-luka kawanmu, juga perban bagiku membalut sepenggal riwayat kepedihanmu.

___________________________________

seusai magrib — selepas isya, 29. 01. 2011