Rabu, 28 Oktober 2009

Mengecup Sunyi

Aku masih disini, menikmati malam dari bilik jendela tak berkaca. Namun sepotong langit mampir sebagai sebuah kejutan yang segar. Tampak bergulung-gulung dan sedikit abu-abu. Tak ada cahaya seperti batu safir sebab disini terlalu gelap dan dinding kelam. Aku melihat bintang terjauh diantara bintang yang terang. Banyak yang terang, tapi hanya satu saja yang berkedip. Banyak yang terpanggil, tapi hanya satu yang terpilih...

Tentang sebuah tanya


Adakah yang lain dari hidup ini selain kata Sabar?
Haruskah terus menerus bertahan ketika jasad dirajam renta?
Kemanakah akhirnya dan dimanakah raga ini bermuara?
Ketika raga dililit tanah, kemanakah terbangnya sang nyawa?

Oh, kemarilah jiwa-jiwa yang bersih
Terkutuklah alam yang sengaja membungkusku dalam kesia-siaan!
Membiarkanku tergolek lemas dan tak berdaya melihat gegap gempita dunia
Sementara diriku dihempas gelombang samudera ketakterhinggaan!

Kemarilah duka, mari menari bersamaku dalam irama rintih
Kita dendangkan sebuah lagu tentang sunyi dan sepi
Bersama para malaikat yang kini enggan dan malas menjemputku mati
Wahai alam, tak bosankah engkau memberiku dahaga?

Kami yang masih setia dalam doa menanti oase di padang tandus
Dalam keganjilan-keganjilan kami yang penuh dosa dan lumpur nafsu
Timpakan lumpur panas itu, biar hancur luluh lantak sekalian!

Oh hidup, tak lain adalah tanah gersang yang menjadikanku seonggok daging
Dengan otak dan hati yang tak kalah kering
Hanya menanti pembusukan menjadi mayat-mayat yang beraroma sengak...


)* Kamar gelap, 26 Juli 2006

Pada akhirnya harus ada yang singgah dan pergi...


Siapa yang akan mengantarkan kita?
Hati kita jauh lebih unggul dari sekedar derita
Lebih unggul dari sekedar putus asa
Lebih unggul dari sekedar sepi

Ditanamnya pohon jeruk dipekarangan rumah kita
Dicoretkannya kapur penolak bala di ambang pintu rumah kita
Dibakarnya getah kemenyan di dalam tungku dapur rumah kita

Agar kita tak pernah melihat lagi adegan-adegan cinta
Agar tak sakit hati mengenangnya...
Biarkanlah semuanya kembali hilang!

Libido Sophia


Bait perlawananku malam ini
Aku telah kehilangan suara
Yang terputus oleh libido oportunis
Sehingga kuselipkan secarik puisi ini
Dari darah perawanmu...

Wahai gadis yang membawaku sekuntum mawar
Jadilah engkau mawar terindah diseberang jurang kegalauanku
Indahmu jelas terlihat tapi tak kuasa kupetik

Jadikanlah hangat birahimu...
Setiap dengusan nafasmu...
Awal dari nafsu untuk perubahan dan pembebasan!

Senin, 26 Oktober 2009

Altar Kunfayakun

Tuhan...
Aku kembali lagi meratap di altarMu
Ijinkan aku ya Tuhan...
Sedetik saja aku telungkup dan terlentang
Bersama dia kekasihku!
Saling menangkap cinta yang Kau jatuhkan
Agar bisa kurasakan lagi sumber kehidupanku
Untuk kembali meretas pada dasar langkahku

Tuhan...
Jangan Kau tulikan telingaMu atas doaku
Jangan pula Kau lumpuhkan kunfayakunMu atas pintaku
Bukankah aku lahir di dunia ini atas kunfayakunMu?
Menjelma menjadi seorang aku atas sapaMu?

Tuhan...
Segala rasa segala cipta segala punya
Aku tersungkur di altarMu
Demi menghilangkan segala batas
Yang membelenggu...
Amien!

Aku Cinta Kamu

Telah kau baca bukan?
Dari sepasang mata yang tak lagi layu
Betapa rinduku ingin menampar tipis bibirmu

Telah kau lihat bukan?
Dari degup jantung yang telah lapuk ini
Betapa aku ingin mencoba berlari
Menuju reruntuhan puing-puing hatimu

Telah kau rasakan juga bukan?
Setiap dengusan nafas dan tetesan darah
Dan setiap inci pori-poriku
Hanya untuk tiga kata saja: Aku Cinta Kamu...
Masih belum jelas terdengar?
Aku-Cinta-Kamu!
Aku-Cinta-Kamu!
Aku-Cinta-Kamu!


Cihampelas strasse, 26-Maret-2007

Jumat, 23 Oktober 2009

Kehujanan

Hari ini kita telah berjanji,
Untuk bertemu setelah kemarin memendam rindu
Tetapi hujan sudah turun sepagi ini
Apakah kita akan tetap memenuhi janji,
Atau memilih menarik kembali selimut pagi kita?

Elegi Rinai Hujan

Lihatlah, hujan turun lagi...
Kehadiran hujan bisa berarti sebuah pertanda buatku
Pada sebuah kesan lama yang menggenangi sisi ingatanku
Tubuhku menggigil, termangu di depan jendela
Menatap serupa telaga kecil di depan beranda
Aha, mari kita buat lagi perahu kertas!

Dalam tetesannya kulihat embun-embun kecil itu menari irama rintik
Dalam rinainya terlukis wajah segar kenangan masa kecil

Tentangku yang dulu begitu nakal
Tentang kita yang terlalu lugu
Bahkan dinginnya masih terasa bukan?
Entah kenapa, kehadiran hujan menghadirkan sebuah pertanda...
Rinai itu membuatku galau sekaligus rindu!

Rabu, 14 Oktober 2009

Raison D'etre Kanapa Aku Menulis Catatan Harian


"Selama ini kamu telah memberikan perasaan nyaman untukku. Betapa menyenangkan menulis diary seperti ini, hingga sekarang aku merasa tidak sabar menunggu saat-saat untuk dapat berbagi cerita bersamamu..."
- Anne Frank

"Aku tak akan pernah lagi melepaskan buku harianku. Aku harus pegang teguh, sebab hanya dengan inilah aku bisa menulis..."
- Franz Kafka

"Satu-satunya cara untuk membebaskan diriku dari kemurungan adalah dengan memenuhi semua lembaran kertas ini dengan tulisanku. Aku akan terus mencobanya lagi, melanjutkan kisahku dan menyelesaikannya..."
- Camilo Jose Cela

"Dari semua yang telah ditulis, aku hanya mencintai apa yang ditulis seseorang dengan darahnya. Menulislah dengan darah dan kau akan dapati bahwa darah itu roh..."
- Friedrich Nietzsche

"Awali setiap subuhmu dengan menulis atau mencatat karena dengan begitu akan membuatmu menjadi penulis..."
- Gerald Brenan


"Ketika aku menulis catatan harian, aku merasa terluka. Ketika kubaca catatan harianku, lukaku semakin terbakar..."
- Jean Paul Sartre

"Tahukah engkau mengapa aku sayangi engkau lebih dari siapapun? Karena engkau menulis! Suaramu takkan padam ditelan angin, akan mengabadi, sampai jauh, jauh dikemudian hari..."
-Pramoedya Ananta Toer