Jumat, 29 Oktober 2010

Riwayat Tan Malaka


Tan Malaka, lahir di Suliki, Pandan Gadang – Sumatera Barat (1897-1949), semula berniat menjadi guru, diseparuh perjalanan hidupnya mengganti cita-cita. Itu bermula ketika Tan Malaka bersekolah di Rijks Kweekshool, Belanda. Sepanjang hidupnya Tan Malaka telah menghabiskan perjalanan 89 ribu kilometer (11 negara dan 2 benua) atau setara 2 kali keliling bumi. Dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara mengelilingi Amerika latin!

Tan Malaka menguasai 8 bahasa: Minang, Indonesia, Belanda, Rusia, Jerman, Inggris, Mandarin dan Tagalog. Tan Malaka memiliki 23 nama samaran, diantaranya: Elias Fuentes, Estahislau Rivera, Alisio Rivera (Filipina); Hasan Gozali (Singapura); Ossorio (Shanghai); Ong Song Lee (dengan 13 varian nama, Hongkong); Tan Ming Sion (Burma); Legas Hussein, Ramli Hussein, Ilyas Hussein (Indonesia); Cheung Kun Tat, Howard Lee (Cina).

Tan Malaka adalah seorang organisatoris ulung, tercatat ada 9 organisasi yang pernah dipimpinnya: Anggota Sarekat Islam Semarang (1921-1922); Wakil ketua Sarekat Buruh Pelikan (1921-1922); Ketua Partai Komunis Indonesia (1921-1922); wakil Komintern untuk Asia Timur (1924); Ketua Biro Buruh lalu Lintas se-Pasifik (1924); Ketua Partai Republik Indonesia yang didirikan di Bangkok (1927); Ketua Persatuan Perjuangan yang didirikan di Purwokerto (1946); Pendiri Partai MURBA (1948); dan Pimpinan Gerilya Pembela Proklamasi (1948). Konsekuensi logis akibat aktivitas politik, Tan Malaka menjalani hukuman dengan menghuni 13 penjara dalam dan luar negeri, baik dengan atau tanpa proses pengadilan: Filipina (1937); Hongkong (1932); 11 Penjara di Jawa (1922, 1946 -1948).

Sebagai pribadi manusia biasa, tercatat Tan Malaka memiliki 6 teman wanita dekat, diantaranya: Syarifah Nawawi (Padang); Fenny Struyvenberg (Belanda); Nona Carmen (Filipina); Paramitha Rahayu (Jakarta) dan AP Toa Chi (Cina).

Sebagai seorang pemikir, intelektual dan politikus ulung, Tan Malaka menghasilkan 26 buah pikir, diantaranya: Dari Penjara ke Penjara (Autobiografi 3 Jilid tahun 1948), MADILOG (opus magnum Tan Malaka yang ditulis tahun 1943); Parlemen atau Sovjet (1920), SI Semarang dan Onderwijs (1921), Dasar Pendidikan (1921), Naar de Republiek Indonesia (1924), Semangat Moeda (1925), Massa Actie (1926), Manifesto Bangkok (1927), PARI dan International (1927), Aslia Bergabung (1943), Manifesto Jakarta (1945), Politiek (1945), Rencana Ekonomi Berjuang (1945), Moeslihat (1945), Thesis (1946), Pidato Purwokerto (1946), Pidato Solo (1946), Islam dalam tinjauan Madilog (1948), Pandangan Hidup (1948), Kuhandel Di Kaliurang (1948), Pidato Kediri (1948), GERPOLEK (1948), Proklamasi 17 Agustus 1945 Isi dan Pelaksanaannya (1948).

Riwayat pekerjaan Tan Malaka adalah sebagai Guru sekolah dan mandor kebun teh di Deli, Sumatra Utara (1919-1920); Guru Sekolah Rakyat di Semarang, Pekalongan, Bandung, dan Yogyakarta (1920-1922), penulis lepas koran El Debate, Filipina (1924-1927), Juru tulis pada perusahaan impor, Singapura (1927), Pendiri dan Guru di Foreign Language School, Amoy-Cina (1936-1937), Guru matematika dan bahasa Inggris di Nanyang Chinesse Normal School, Singapura (1934-1941), Juru tulis pertambangan batubara di Bayah, Banten (1941-1945), Tukang jahit di Kalibata-Jakarta (1942). Sementara riwayat kesehatan Tan Malaka hanya memiliki 1 penyakit paru-paru kronis.

Akhir hidup:

Tan Malaka ditembak mati oleh tentara Batalion Sikatan Divisi IV Jawa Timur atas perintah Letnan Dua Soekotjo di dusun Selopanggung, Kediri pada tanggal 21 Februari 1949.

Jumat, 22 Oktober 2010

- Kosong -

Dalam kebisuan yang nyaris gelap, aku menggumam:
mengumpati serapah yang mewujud onggokan sampah
Kusam pada raut-raut wajah yang memucat.

Gemericik suara hujan yang jatuh
di pucuk dedaunan tak lagi menmbunyikan perasaanku
pada ketakutan akan tangis bumi, marah matahari, sendu rembulan....

Harapanku kosong. Ia terbang bersama sisa-sisa jerit sakit, derai tawa,
derit di daun pintu belakang, derap langkah yang angkuh di beranda.
Ingatanku menghilang, melemah diterjang kebisingan suara kota, Sang Pemilik Kepentingan!
Hasratku memudar. Berlari berkejaran dengan ketidakpastian!

Sebaliknya....

Mimpiku mencuat tinggi: Tentang hangatnya peluk ibu, pemaknaan dosa asal, riang tetumbuhan dan batu-batu yang berterimakasih pada bumi. Juga api yang murka pada langit mendung!
Aku hanya bertanya dalam sunyi:
"Apa arti hidup jika aku hanya bisa diam? tak berubah!"

*... dan hujanpun tetaplah tetesan butir air yang dijatuhkan langit yang paling jauh... *