Minggu, 04 Desember 2011

Rumah Sang Penyair


: untuk penyair Rama Prabu

tidakkah engkau merasa lelah dengan puisi-puisi?
yang membiusmu dengan hangat
tak peduli usiamu mulai menyusut

engkau sendiri yang membiarkan kata-kata itu terbang
engkau telah memberinya sepasang sayap pada kata-katamu!
tak kau hiraukan puisi-puisi lirihmu hendak hinggap di dahan mana

engkau telah bersetia pada jalan sunyi yang enggan bertukar sapa
pada gemuruh dan bising lanskap kota-kota asing yang pernah engkau singgahi

inilah duniamu kini dan nanti:
sebuah rumah tanpa dinding bambu
hanya beratapkan jejak masalalu
pada sebilah pena tak berulu
beralaskan tanah kata-kata
yang terus menjadi batu

Sajak Puntung Rokok


kepulan asap terakhir sudah tandas
ampas kopi terakhir pun sejak tadi sudah pula kandas
haruskah aku kembali menggarami bilur-bilur
luka yang masih menganga
di tanah kering gersang
di tengah rinai rintik gerimis yang asing?

mimpi-mimpi pun tersangkut pada jelaga hitam
yang sulurnya terkoyak moyak
angin mendesau aneh serupa suara sengau angsa
aku tersenyum pucat
tanpa darah di wajah
tanpa hujan di sudut mata

masa laluku tumpah berhamburan
di antara abu-abu jahanam
pada sebuah asbak keramik tua

Minggu, 03 April 2011

Jendela Rumah Kaca

/1/
Mengetuk kembali bingkai jendela rumah itu
aku seperti di sengat masalalu.
Tentang beranda yang pernah menyimpan cerita:
masa kecil yang lugu - setangkai kembang bakung yang renggas.

/2/
Daun pintu yang bernasib sengsara.
Hati siapa yang sudi mengetuk-ngetuk,
bahkan pegangan kuncinya sudah tak lagi bertengger disana.
Biarkan saja pintu itu tetap membuka mengundang angin.
Sungguh, deritnya menggelisahkan hati.

/3/
Diluar malam sedang hamil tua oleh kunang-kunang legenda
penghuni yang telah lama tiada.
Aku ingin berlari - bergegas menghampiri sebilah pena,
demi melukiskan kegumbranganku pada wajah kenangan
rumah tua yang berjendela kaca.

/4/
Bangku kayu dan batu yang menunggu.
Menjadi saksi sunyi perihal kisah yang berserakan di rumah tua.
Dalam kebisuannya merekapun bertutur cerita:
tentang cinta yang pernah mekar dan mengada,
lalu dipergilirkan waktu menjadai tiada.

/5/
Kenangan rumah tua yang berjendela kaca,
hanya mengabadi di dalam sukma.

Sabtu, 02 April 2011

Perjamuan yang Tak Kudus

Di atas sebuah meja kayu kokoh berukir dari Jepara
pada sebuah pelataran teras cafe Rijstaffel di ujung jalan Braga.
Engkau memesan wedang ronde jahe
dan aku lebih memilih secangkir torabika.
Aku dan engkau saling menumpahkan rasa di dalam dada.

Adakah nama-nama puitis selain nikmatnya rasa?

Pesanan minuman kita tak juga kunjung datang.
Aku dan engkau terlibat perang cakap yang meletihkan.
Entah mempercakapkan apa.
Matamu yang semerah saga sedang menyimpan bekas-bekas luka lama!

Pesanan minuman kita tidak juga datang, kawan.
Peluru kata-katamu semakin pecah berhamburan,
rembulan dan gemintang ikut pecah berserakan.
Ada kisah lama terpahat di ujung aspal pekat!

Hey, apa kabar tembok-tembok kusam di seberang istana walikota?
Masihkah ada ruang-ruang kosong untuk kita beri warna bersama disana?

Aku memilih warna ungu-biru:
warna kabar nestapa. Berita kehilangan, sendiri dan cucuran airmata.
Dan kau lebih menyukai warna hitam-merah:
kau bilang sebagai warna kebangkitan para gembala ideologi.
Filsafat tua karatan dan amis darah.

Aku dan kau sedang dimabuk cahaya.
Kita terhenyak sadar karena lupa membasuh muka.
Terlalu asyik mengunci diri dalam almari dengan cermin retak
yang lusuh dan berdebu!

Sore semakin membungkuk di barat.
Diluar langit semakin rembang,
cahayanya berwarna merah kesumba.

Bandung, 2008

Jumat, 01 April 2011

Mesin Ketik yang Tidak Terlalu Tua

Aku punya sebuah mesin ketik sederhana.
Usianya tidak terlalu tua, seumuran saja denganku.
Bukan barang yang mewah sebenarnya,
tapi aku sangat suka pada wujudnya yang menyimpan sejarah.

Tik...tik...tik: Aku mengetik.
Tik...tik...tik: Jari jemariku menari-nari.
Tik...tik...tik: Diluar suara hujan menetes di atas genting.

Pada mesin ketik yang usianya tidak terlalu tua.
Aku pernah menitipkan isi hati dan perasaanku:
Tentang catatan berantakan kota yang sakit atau sehelai surat cinta
berselimut asmara perselingkuhan.
Seribu isyarat dan hikayat pernah kurekam disana.

Tapi kini mesin ketik yang usianya tidak terlalu tua itu,
hilang entah dicuri oleh siapa.

Cisarua, 2009

Hidup Serutin Angin

Pikiran-pikiran kita yang senantiasa bergejolak sekaligus rapuh.
Setia dipergilirkan alasan-alasan yang sebenarnya biasa dan sederhana.
Menyemut - berbaris menggiriskan hati.

Duhai, dunia tak pernah meminta kompensasi apa-apa pada manusia.
Selain lelaku hidup bersahaja seirama alam semesta.

Tapi siapa yang sanggup menahan lajunya usia yang terus merangkak tua?

Detak jantung dan jejentik waktu kerap mengintip celah-celah kelengahan.
bahkan diri pun pasrah saja dilumat kebisingan wajah kota dan kokang senjata para tentara.
Setiap hari mengancam hilangnya rumah, masa depan istri dan anak-anak kita.
Ah, kepala letih ini belum pula cukup dijejali peluru kata-kata dan juga umpatan para filosofia.
Biar, biarkan saja urat-urat kening kita semakin menegang.
Kian letih dan layu.

Di dalam dada, aku sembunyikan sapuan badai!
Di telinga, sedang kusimpan sejuta syair merdu simfoni!
Di lutut ini ada rasa takut dan api cemburu!
Dan di mulut ini, aku masih mengulum gerutu!


*) Cihampelas, 2010

Selasa, 29 Maret 2011

Di langit tak ada cahaya

Desau-desau angin yang bersiul di pucuk dedaun pohon mangga muda.
Semilirnya menghantarkan sejuk di seruang dada.
Membawaku pada sebuah lamunan yang paling jauh.

Derasnya arus kudapan sungai di bawah tiang-tiang pancang rumahku.
Membisingkan telinga-hatiku yang tak henti menggumamkan gemuruh.

Aku temui diriku dalam seonggok sepi murung.
Sejenis kesepian atas lakon hidup yang enggan berkelana terlalu lama.
Diri yang mulai malas menapaki jenjang-jenjang hidup dan harapan yang kian memanjang.
Menggeliat dalam lipatan-lipatan takdir yang menyejarah di kelapangan luasnya jiwa ragawi.

Oh, diri kerdil yang di amuk badai!
Hamparan kata-kata kini hanya mewujud dalam bingkai ratap-ratap doa.
Entah di dengar atau tidak di telinga tuhan.
Aku hanya madah saja!
Memasrahkan diri entah dikutuk menjadi apa.
Aku tidak tahu...

Adam Hawwa Jatuh ke Bumi

Dunia masih serupa genangan. Lahar-lahar mengakar, menjalar. Gelap.
Bumi serupa hutan dan semak belukar rerumputan. Tak ada hewan, tak ada suara.
Dan tanah belum menjelma suaka-suaka bagi jejak kaki para pendosa.

Di atas lelapis langit ada sepasang dara perjaka telanjang.
Tersesat membabat belukar asmara purba. Saling berlari.
Berkejaran di bawah rindang pohon buah terlarang dan kudapan sungai bening.

Dua onggok tubuh terkapar di altar rerumputan hijau.
Melepas penat. Berbagi keringat cinta yang kelak berbuah laknat.
Sepasang insan yang mabuk hasrat berkarat.

Asyik bertukar mata demi saling melihat perkakas syahwat
yang belum sempat mereka beri nama.
Namun sekepal rasa sedang menari-nari diantara sulur-sulur dan kelopak-kelopak hangat.
Yang tersembunyi dibalik pelepah dedaun surga.

Tuhan Maha Melihat. Tuhan mulai dilindap rasa cemburu.
Bapa leluhur para manusia mulai menebar angkara.
Matanya mengeluarkan api!
Dia menyuruh Adam - Hawwa segera turun ke Bumi.

Sabtu, 19 Maret 2011

Lamunan kering di senja yang basi

Matahari menukik terik
Siang menyiang menuju senja di kolong jembatan Pasopati
Kesadaran asing telah memapahku, mengajakku pergi
menuju lilitan mimpi di dalam lipatan sejarah.
Mimpi itu tetap kusam, lamunan itu tetap kering.

Kujumpai diri dalam selongsong yang kosong.
Aku dilumat diam.
Aku duduk melamun bak The Thinker pahatan Auguste Rodin.
Di tepi senja yang nyaris basi.
Tak banyak cakap sebab akulah sang pejalan sunyi!
Kubiarkan seisi dada terus membathin. Menggumamkan entah apa.

Aku tatap bebatuan. Dedaunan dihempas angin.
Aku bersijingkat perlahan-lahan. ku hindari lubang-lubang jalanan.
Aku lompati genangan lumpur penuh becek. Aku melenguh sesal.
Kepala merunduk lesu. Kaki tetap mengayun. Menyeret kerikil di alas sepatu.
Aku tendang kaleng bekas minuman. ku berhenti di persimpangan.
Aku ingin teriak keras!

Kawan, ternyata jalan dimuka masihlah teramat panjang.
Rembulan di atas kepala pecah di hunus mimpi.
Aku mau pulang....

Kamis, 17 Maret 2011

Merekam Jejak Hujan


Lihatlah, hujan turun lagi...
Kehadiran hujan bisa berarti sebuah pertanda buatku
Pada sebuah kesan lama yang menggenangi sisi ingatanku
Tubuhku menggigil, termangu di depan jendela
Menatap serupa telaga kecil di depan beranda
Aha, mari kita buat lagi perahu kertas!

Dalam tetesannya kulihat embun-embun kecil itu menari irama rintik
Dalam rinainya terlukis wajah segar kenangan masa kecil

Tentangku yang dulu begitu nakal
Tentang kita yang terlalu lugu
Bahkan dinginnya masih terasa bukan?
Entah kenapa, kehadiran hujan menghadirkan sebuah pertanda...
Rinai itu membuatku galau sekaligus rindu!

Minggu, 30 Januari 2011

Semacam ISENG ||| Sejumlah Sajak bagi Sejumlah Nama [#1/3] karya Rena Anarkarani


#1 – Kepada Bunga Belati

~ buat Bunga Matahari Borneo Hehamahua

belatiku, apa kabar kamu di sana? telah sampai kepada kita hikayat sebuah negeri yang dikuasai gerombolan pencuri. masihkah kau berdiri di atas kaki sendiri? aku belum terjaga penuh, masih berlari sempoyongan setengah pejam. di luar diri, pagi saban hari menumpahkan orang-orang tidur ke setiap ruas jalan. kau tentu merasakan, ada rangkaian tragedi yang berkembang-biak dari kantuk sepanjang sabang sampai merauke. di sana, siang sore malam, kepala negara telah berulangkali mengeluh, mengigau, dan bertingkah merupa kerbau; ia seperti minta dipenggal.

saat ini aku baru sebatas bisa mendoakanmu agar tetap tajam. tak banyak yang dapat kulakukan sebagai kawan senasib. aku tahu, kau muak menyimak bagaimana ibukota menyembunyikan kisah tentang luapan lumpur terus menggorok masa depan saudara-saudari kita. di tengah kerumunan kaki para pemimpin yang berlari di tempat sebagai pemimpi, kau juga sempat murka melihat gerombolan muda-mudi kota merakit cita-cita setolol iklan, membangun masa depannya sebodoh logika acara hiburan dan segoblok ilusi di televisi.

tapi yakinlah, masih ada tanah tempat kita menanam kemerdekaan dan harga diri. aku harap, sebelum semua desa dirampok ibukota dan dikuras negeri-negeri asing, kau sempat mengasah hati lewat kehidupan orang-orang kampung yang belum diracuni bau busuk kota, barangkali dengan begitu, kau akan jauh lebih tajam dari keharuman melati. kita percaya bukan, dari mereka siapa pun bisa belajar melakukan perubahan dengan alami tanpa banyak basa-basi, seraya berlatih mempertahankan diri tanpa melukai.

#2 - Enigma

~ buat Andrenaline Katarsis

terasa sekali kehadiran kita menyusut dalam gerak jarum jam. apa yang berjatuhan seturut guguran kalender ingatkan kita bahwa segala yang kita sentuh bukan milik kita. kau pernah bilang: kita merupa sehamparan jejak dari jejak-jejak sebelumnya. telah banyak tanda-tanda tertinggal, semuanya timbul-tenggelam merentang jawab demi jawab mengambang. kita bertanya-tanya, berapa banyak kata lagi untuk kita saling bertukar sapa, berbagi menyambung cerita? tak sesiapa pun tahu.

kita hanya kerap merasakan, usai saling mendengar, bicara, dan membaca masing-masing coretan, kita lagi-lagi dihadapkan pada tembok-tembok dingin. tapi ya sudah. tenang saja. ada banyak hari-hari baru disimpan putaran waktu. kita masih berkesempatan mengisinya lagi dengan keakraban. aku rasa kita sama-sama mengerti, percakapan kita di sini pada akhirnya menjadi jejak penuh teka-teki. tak apa. kita sadar, di ujung setiap obrolan kita, ada diam bersembunyi, seperti isyarat rindu yang tak selalu berbunyi.

#3 – Yang Memesan Sabda Saratdusta

~ buat Anarquia Zi

zi, aku tak tahu sejak kapan kau menyukai puisi? di taman bermain ini tamu-tamu dan semua teman kita cukup lama meraba-raba rupa di balik setiap kata dan kalimat yang aku tulis. ada sesuatu tumbuh di antara kita, semacam dusta atau selaksa tanya. kau barangkali sempat berpikir jika puisi memungkinkan kita bersitatap tanpa harus mengenal rupa; sekalipun ia kita baca bukan untuk kita percaya.

aku terus mencari jalan ke luar dari kesementaraan dan kepura-puraan. namun gerak pena kita belum lagi menemukan jembatan bagi perjalanan yang kehilangan rambu-rambu. aku ingin kau berlari dan terus berlari, lewati banyak tikungan, hingga menemukan kehadiran seruas jalan tempat kakimu melangkah lurus tak putus-putus. di sana, mungkin kau dapat merasakan pelukan hangat cahaya yang kau rindu.

kau tak perlu cemas jika aku menulis dalam gelap. kota ini memang dari dulu begitu, hanya memenuhi sisi-sisi jalan dengan udara dingin dan kabut. telah lama persimpangan demi persimpangan sebatas mengisahkan semesta lampu meredup pelan-pelan menuju padam. ada banyak gerak kehilangan hangat. berjalan dengan memicingkan mata seraya tersenyum pura-pura telah menjadi budaya. demikianlah kota. nyaris setiap orang mewartakan pesan damai terhadap alam dengan serakan debu, batu-batu pecah, gumpalan asap hitam, atau gundukan sampah. aku kebingungan mencari alamat kisah kupu-kupu lucu untuk terbitkan senyum pada bibirmu.

di kota ini, puisiku sulit sekali menjelma kunang-kunang yang hinggap mengecup keningmu. ia sebenarnya begitu ingin menyaksikan kau tersipu malu dengan rona pipi sewarna stroberi, sayang ia terlanjur tumbuh dalam kegaduhan dan huru-hara, bukan berkembang di taman permai penuh damai. aku harap, kau tak marah jika aku tidak pernah bisa mengombalimu. semoga saja kau masih menyukai puisi, tak berniat membencinya sekalipun aku hanya punya cerita duka.

ya untuk sementara, paling tidak kau tahu, di kota ini puisi belum benar-benar mati, ia masih mungkin tumbuh sebagai jarum untukmu menjahit luka-luka kawanmu, juga perban bagiku membalut sepenggal riwayat kepedihanmu.

___________________________________

seusai magrib — selepas isya, 29. 01. 2011