Sabtu, 02 April 2011

Perjamuan yang Tak Kudus

Di atas sebuah meja kayu kokoh berukir dari Jepara
pada sebuah pelataran teras cafe Rijstaffel di ujung jalan Braga.
Engkau memesan wedang ronde jahe
dan aku lebih memilih secangkir torabika.
Aku dan engkau saling menumpahkan rasa di dalam dada.

Adakah nama-nama puitis selain nikmatnya rasa?

Pesanan minuman kita tak juga kunjung datang.
Aku dan engkau terlibat perang cakap yang meletihkan.
Entah mempercakapkan apa.
Matamu yang semerah saga sedang menyimpan bekas-bekas luka lama!

Pesanan minuman kita tidak juga datang, kawan.
Peluru kata-katamu semakin pecah berhamburan,
rembulan dan gemintang ikut pecah berserakan.
Ada kisah lama terpahat di ujung aspal pekat!

Hey, apa kabar tembok-tembok kusam di seberang istana walikota?
Masihkah ada ruang-ruang kosong untuk kita beri warna bersama disana?

Aku memilih warna ungu-biru:
warna kabar nestapa. Berita kehilangan, sendiri dan cucuran airmata.
Dan kau lebih menyukai warna hitam-merah:
kau bilang sebagai warna kebangkitan para gembala ideologi.
Filsafat tua karatan dan amis darah.

Aku dan kau sedang dimabuk cahaya.
Kita terhenyak sadar karena lupa membasuh muka.
Terlalu asyik mengunci diri dalam almari dengan cermin retak
yang lusuh dan berdebu!

Sore semakin membungkuk di barat.
Diluar langit semakin rembang,
cahayanya berwarna merah kesumba.

Bandung, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar