Sabtu, 11 Juli 2009

Bandung Tak Sesejuk Dulu


Bandung sekarang tak lagi dingin. Embun-embunnya tak lagi mampu membuatku menggigil. Siapa lagi yang bisa disalahkan ketika pepohonan rindang banyak ditebang, bangunan antik banyak yang digusur dan berubah fungsi, bukit-bukit asri telah disulap menjadi villa, taman kota menjadi bising dan banyak galian dimana-mana. bandung nyaris tergesa-gesa supaya mirip Jakarta: banyak gedung bertingkat, polusi, kemacetan, pedagang kaki lima yang penataannya berantakan, panas dan kering...

Jika aku boleh berandai-andai tentang kota Bandung 50 - 70 tahun yang lalu, dan aku hidup pada masa itu, tentulah bandung masih relatif sejuk, hijau, tenang dan dingin. Kota tempat dimana aku bisa jalan-jalan dengan naik andong dari stasiun kota menuju Alun-alun atau ke Bragaweg, sebelum pulang ke indekoost. Saling menebar pesona dan senyum kepada noni-noni Walanda. Tapi ketika aku mulai membuka mata ini lebar-lebar, aku seakan berada di sebuah ruang sempit, sebuah tempat dimana banyak kaca-kaca gedung mengkilap, spanduk dan papan reklame yang bertebaran dengan rayuan bombastis iklan-iklan yang menohok, bus patas yang berjubel...

Tapi bukankah setiap kota berhak punya memiliki detak jantung dan iramanya yang khas dan tersendiri?
Lihatlah kota-kota diseluruh dunia yang hanya punya satu detak irama dan tujuan: Memburu uang!
Ah, Bandung tempo doeloe itu kini hanya bisa kuratapi dalam bingkai photo dan lukisan...

1 komentar: